
Sign up to save your podcasts
Or
Keputusan Bupati Pati, Sudewo, untuk menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) memicu gelombang penolakan dari masyarakat. Puncaknya, pada 13 Agustus 2025, ribuan warga menggelar demonstrasi besar-besaran di depan Kantor Bupati.
Aksi yang semula dimaksudkan sebagai penyampaian aspirasi tersebut berujung ricuh setelah aparat menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa.
Ketegangan itu tidak lepas dari pernyataan Sudewo yang sebelumnya menantang warganya untuk berdemo setelah menolak keluhan mereka terkait kenaikan tarif pajak.
Respons keras masyarakat kemudian diperkuat oleh langkah politik: delapan fraksi di DPRD Pati sepakat menggunakan hak angket untuk menyelidiki kebijakan tersebut.
Langkah ini sekaligus membuka tuntutan politik agar Sudewo, sebagai kepala daerah, mempertanggungjawabkan keputusannya hingga pada seruan untuk mundur dari jabatannya.
Bagaimana menurut ahli terkait kejadian ini?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berdiskusi dengan Wasisto Raharjo Jati, Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Wasisto melihat apa yang terjadi di Pati adalah bentuk protes moral akibat kebijakan pemerintah setempat yang seakan tidak peka terhadap himpitan sosial ekonomi yang sedang dirasakan oleh masyarakat. Pada hakikatnya, protes moral lahir dari rasa ketidakadilan dan ditujukan untuk memperbaiki kebijakan.
Wasisto juga mengkritisi pola komunikasi pemangku jabatan yang seringkali ambigu, memunculkan kontroversi, lalu diakhiri dengan permintaan maaf. Ia menekankan bahwa komunikasi publik seharusnya bersifat dua arah, dengan sensitivitas terhadap aspirasi masyarakat.
Pola komunikasi satu arah yang masih dominan dapat menyebabkan penurunan kualitas demokrasi, karena pejabat sering kali menolak kritik alih-alih mendengarkan mandat publik yang menjadi dasar legitimasi mereka.
Ia menambahkan bahwa aksi publik justru akan semakin kuat dan membesar apabila pemerintah tidak bisa mengomunikasikan sebuah permasalahan dengan baik dan ini justru akan menyebabkan aksi massa yang lebih besar.
Menurut Wasisto, gerakan sosial sering dihadapkan pada hadirnya “penumpang gelap” yang membawa kepentingan politik atau agenda pribadi. Sulit untuk membedakan antara gerakan yang benar-benar mewakili suara masyarakat dengan gerakan yang sudah dikooptasi oleh elite.
Ia menyarankan agar masyarakat lokal secara aktif mengidentifikasi siapa yang terlibat, sehingga energi kolektif tetap diarahkan pada tujuan publik, bukan keuntungan politik jangka pendek.
Wasisto juga menekankan bagaimana kesenjangan komunikasi dan minimnya keterlibatan publik masih menjadi persoalan besar dalam tata kelola pemerintahan.
Oleh karena itu, penting bagi pemimpin untuk bisa sensitivitas terhadap keluhan publik, serta memastikan adanya ruang partisipasi yang nyata dalam penyusunan kebijakan.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Keputusan Bupati Pati, Sudewo, untuk menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) memicu gelombang penolakan dari masyarakat. Puncaknya, pada 13 Agustus 2025, ribuan warga menggelar demonstrasi besar-besaran di depan Kantor Bupati.
Aksi yang semula dimaksudkan sebagai penyampaian aspirasi tersebut berujung ricuh setelah aparat menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa.
Ketegangan itu tidak lepas dari pernyataan Sudewo yang sebelumnya menantang warganya untuk berdemo setelah menolak keluhan mereka terkait kenaikan tarif pajak.
Respons keras masyarakat kemudian diperkuat oleh langkah politik: delapan fraksi di DPRD Pati sepakat menggunakan hak angket untuk menyelidiki kebijakan tersebut.
Langkah ini sekaligus membuka tuntutan politik agar Sudewo, sebagai kepala daerah, mempertanggungjawabkan keputusannya hingga pada seruan untuk mundur dari jabatannya.
Bagaimana menurut ahli terkait kejadian ini?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berdiskusi dengan Wasisto Raharjo Jati, Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Wasisto melihat apa yang terjadi di Pati adalah bentuk protes moral akibat kebijakan pemerintah setempat yang seakan tidak peka terhadap himpitan sosial ekonomi yang sedang dirasakan oleh masyarakat. Pada hakikatnya, protes moral lahir dari rasa ketidakadilan dan ditujukan untuk memperbaiki kebijakan.
Wasisto juga mengkritisi pola komunikasi pemangku jabatan yang seringkali ambigu, memunculkan kontroversi, lalu diakhiri dengan permintaan maaf. Ia menekankan bahwa komunikasi publik seharusnya bersifat dua arah, dengan sensitivitas terhadap aspirasi masyarakat.
Pola komunikasi satu arah yang masih dominan dapat menyebabkan penurunan kualitas demokrasi, karena pejabat sering kali menolak kritik alih-alih mendengarkan mandat publik yang menjadi dasar legitimasi mereka.
Ia menambahkan bahwa aksi publik justru akan semakin kuat dan membesar apabila pemerintah tidak bisa mengomunikasikan sebuah permasalahan dengan baik dan ini justru akan menyebabkan aksi massa yang lebih besar.
Menurut Wasisto, gerakan sosial sering dihadapkan pada hadirnya “penumpang gelap” yang membawa kepentingan politik atau agenda pribadi. Sulit untuk membedakan antara gerakan yang benar-benar mewakili suara masyarakat dengan gerakan yang sudah dikooptasi oleh elite.
Ia menyarankan agar masyarakat lokal secara aktif mengidentifikasi siapa yang terlibat, sehingga energi kolektif tetap diarahkan pada tujuan publik, bukan keuntungan politik jangka pendek.
Wasisto juga menekankan bagaimana kesenjangan komunikasi dan minimnya keterlibatan publik masih menjadi persoalan besar dalam tata kelola pemerintahan.
Oleh karena itu, penting bagi pemimpin untuk bisa sensitivitas terhadap keluhan publik, serta memastikan adanya ruang partisipasi yang nyata dalam penyusunan kebijakan.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
13 Listeners
40 Listeners
2 Listeners
8 Listeners
1 Listeners
0 Listeners
4 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
13 Listeners
62 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
5 Listeners
49 Listeners
3 Listeners