
Sign up to save your podcasts
Or
Kecerdasan buatan (AI) berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir dan mulai merambah ranah yang dulu tak terbayangkan, salah satunya industri kreatif. Teknologi seperti generative AI telah melahirkan berbagai platform yang mampu menghasilkan karya visual, tulisan, suara, hingga video secara otomatis.
Contohnya, aplikasi Midjourney yang bisa membuat ilustrasi gambar hanya dari deskripsi teks atau ChatGPT yang mampu menulis naskah dengan berbagai gaya dan nada.
Fitur terbaru ChatGPT bahkan kini memungkinkan pengguna menghasilkan gambar dalam berbagai gaya artistik, termasuk animasi khas Studio Ghibli dari Jepang, yang belakangan dikenal dengan fenomena “Ghiblifikasi”.
Tak hanya itu, AI juga mulai digunakan untuk menyunting video secara otomatis, menyusun storyboard, hingga menciptakan musik tanpa keterlibatan musisi.
Di satu sisi, teknologi ini membuka peluang eksplorasi kreatif yang sebelumnya terbatas oleh kemampuan teknis manusia. Namun di sisi lain, kemampuan AI dalam meniru gaya artistik dan struktur karya manusia memantik perdebatan serius: soal orisinalitas, etika, dan tempat manusia dalam proses kreatif.
Lantas, apakah AI benar-benar menjadi ancaman serius bagi pekerja kreatif, terutama di Indonesia?
Dalam episode terbaru SuarAkademia, kami membahas isu ini bersama Mirna Rahmadina Gumati, seorang peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Mirna tidak menampik bahwa perkembangan AI saat ini semakin mempermudah siapa pun untuk menghasilkan karya visual seperti penyuntingan foto, pembuatan video, hingga membuat animasi. Bahkan, menurutnya, perkembangan ini masih akan terus melaju lebih jauh lagi.
Ia menggambarkan AI ibarat “pisau bermata dua”. Di satu sisi, kemajuan teknologi membantu para pekerja kreatif untuk melakukan riset dan eksperimen terhadap karya yang akan dibuat. Namun di sisi lain, masih rendahnya apresiasi publik terhadap seni bisa membuat pekerjaan kreatif dianggap semakin remeh—seolah semua karya bisa dihasilkan dengan cepat dan instan, apalagi setelah kehadiran AI. Pandangan ini berpotensi mengancam keberlangsungan profesi di industri kreatif.
Mirna juga menyoroti pentingnya etika dalam penggunaan dan pengembangan AI, terutama di sektor kreatif. Belum adanya regulasi yang jelas dan minimnya pemahaman publik mengenai karya buatan AI menjadi masalah serius.
Untuk itu, ujar Mirna, penguatan regulasi dan edukasi kepada masyarakat tentang penggunaan AI merupakan dua langkah mendesak yang harus dilakukan saat ini.
Jika publik memahami bahwa karya kreatif bukan sekadar hasil akhir, melainkan buah dari pemikiran, eksperimen, dan emosi manusia,
Selain itu, kata Mirna, pemerintah perlu merumuskan regulasi yang adil: bisa memberikan perlindungan bagi pekerja kreatif, tanpa menghambat inovasi teknologi.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Kecerdasan buatan (AI) berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir dan mulai merambah ranah yang dulu tak terbayangkan, salah satunya industri kreatif. Teknologi seperti generative AI telah melahirkan berbagai platform yang mampu menghasilkan karya visual, tulisan, suara, hingga video secara otomatis.
Contohnya, aplikasi Midjourney yang bisa membuat ilustrasi gambar hanya dari deskripsi teks atau ChatGPT yang mampu menulis naskah dengan berbagai gaya dan nada.
Fitur terbaru ChatGPT bahkan kini memungkinkan pengguna menghasilkan gambar dalam berbagai gaya artistik, termasuk animasi khas Studio Ghibli dari Jepang, yang belakangan dikenal dengan fenomena “Ghiblifikasi”.
Tak hanya itu, AI juga mulai digunakan untuk menyunting video secara otomatis, menyusun storyboard, hingga menciptakan musik tanpa keterlibatan musisi.
Di satu sisi, teknologi ini membuka peluang eksplorasi kreatif yang sebelumnya terbatas oleh kemampuan teknis manusia. Namun di sisi lain, kemampuan AI dalam meniru gaya artistik dan struktur karya manusia memantik perdebatan serius: soal orisinalitas, etika, dan tempat manusia dalam proses kreatif.
Lantas, apakah AI benar-benar menjadi ancaman serius bagi pekerja kreatif, terutama di Indonesia?
Dalam episode terbaru SuarAkademia, kami membahas isu ini bersama Mirna Rahmadina Gumati, seorang peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Mirna tidak menampik bahwa perkembangan AI saat ini semakin mempermudah siapa pun untuk menghasilkan karya visual seperti penyuntingan foto, pembuatan video, hingga membuat animasi. Bahkan, menurutnya, perkembangan ini masih akan terus melaju lebih jauh lagi.
Ia menggambarkan AI ibarat “pisau bermata dua”. Di satu sisi, kemajuan teknologi membantu para pekerja kreatif untuk melakukan riset dan eksperimen terhadap karya yang akan dibuat. Namun di sisi lain, masih rendahnya apresiasi publik terhadap seni bisa membuat pekerjaan kreatif dianggap semakin remeh—seolah semua karya bisa dihasilkan dengan cepat dan instan, apalagi setelah kehadiran AI. Pandangan ini berpotensi mengancam keberlangsungan profesi di industri kreatif.
Mirna juga menyoroti pentingnya etika dalam penggunaan dan pengembangan AI, terutama di sektor kreatif. Belum adanya regulasi yang jelas dan minimnya pemahaman publik mengenai karya buatan AI menjadi masalah serius.
Untuk itu, ujar Mirna, penguatan regulasi dan edukasi kepada masyarakat tentang penggunaan AI merupakan dua langkah mendesak yang harus dilakukan saat ini.
Jika publik memahami bahwa karya kreatif bukan sekadar hasil akhir, melainkan buah dari pemikiran, eksperimen, dan emosi manusia,
Selain itu, kata Mirna, pemerintah perlu merumuskan regulasi yang adil: bisa memberikan perlindungan bagi pekerja kreatif, tanpa menghambat inovasi teknologi.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
26 Listeners
40 Listeners
2 Listeners
8 Listeners
1 Listeners
0 Listeners
5 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
13 Listeners
61 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
5 Listeners
47 Listeners
3 Listeners