
Sign up to save your podcasts
Or
Presiden Prabowo Subianto memulai kebijakan pemangkasan anggaran besar-besaran melalui penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Pemotongan ini menyasar anggaran belanja di berbagai kementerian/lembaga (K/L) serta transfer ke daerah. Secara total, pemerintah mengurangi alokasi belanja hingga Rp306,69 triliun—langkah yang dinilai Prabowo krusial untuk meningkatkan efektivitas penggunaan anggaran negara.
Efisiensi ini mencakup dua hal utama. Pertama, pemotongan anggaran K/L sebesar Rp256,1 triliun, dan kedua, pengurangan transfer ke daerah (TKD) senilai Rp50,59 triliun.
Kebijakan pemangkasan anggaran yang diterapkan oleh Prabowo menuai perdebatan, terutama karena berdampak langsung pada sektor-sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan. Banyak pihak khawatir bahwa pengurangan dana ini akan memengaruhi kualitas layanan dasar yang menjadi fondasi bagi kemajuan masyarakat. Pendidikan yang lebih terbatas dan layanan kesehatan yang mungkin berkurang tentu akan berdampak pada kehidupan banyak orang, terutama kelompok rentan.
Di tengah kebijakan ini, muncul diskusi di masyarakat yang membandingkan langkah serupa yang pernah dilakukan di Vietnam. Negara tersebut menghadapi tantangan fiskal dengan strategi yang berbeda, menyesuaikan alokasi anggaran tanpa terlalu mengorbankan layanan esensial. Perbandingan ini menjadi sorotan karena menunjukkan bagaimana berbagai negara mengelola keterbatasan anggaran dengan cara yang berbeda, masing-masing dengan konsekuensi bagi warganya.
Di tingkat global, Vietnam menjadi contoh menarik dalam efisiensi anggaran di tengah pertumbuhan ekonominya yang pesat. Pemerintah Vietnam menerapkan strategi tight fiscal discipline, yaitu kebijakan disiplin fiskal yang ketat dengan fokus pada efisiensi belanja publik. Salah satu langkahnya adalah memprioritaskan anggaran untuk infrastruktur dan pendidikan, sementara belanja birokrasi ditekan agar tidak membebani keuangan negara.
Selain itu, Vietnam juga berhasil mengoptimalkan investasi asing melalui kebijakan insentif yang terukur, memastikan bahwa setiap dana yang masuk benar-benar berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Lantas, bagaimana apabila efisiensi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dibandingkan dengan pemerintah Vietnam? Apakah langkah Presiden Prabowo ini akan menyelamatkan fiskal atau justru membebani masyarakat secara umum?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, lami membahas isu ini bersama Shofwan Al Banna Choiruzzad, seorang akademisi dari Universitas Indonesia.
Shofwan mengulas konsep efisiensi dalam kebijakan ekonomi. Ia menyoroti bagaimana istilah “efisiensi” sering kali digunakan sebagai justifikasi untuk pemotongan layanan publik dan perampingan birokrasi.
Shofwan juga menekankan bahwa dalam banyak kasus, kebijakan efisiensi yang diklaim pemerintah lebih bersifat jangka pendek dan sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik. Sebagai contoh, di banyak negara, pemangkasan subsidi energi sering disebut sebagai langkah efisiensi untuk mengurangi defisit fiskal. Namun, pada kenyataannya, hal ini bisa berdampak buruk bagi masyarakat dengan menurunkan daya beli dan meningkatkan kesenjangan ekonomi.
Dalam konteks Indonesia, ia menyoroti bahwa tantangan utama dalam efisiensi anggaran adalah tekanan fiskal yang terus meningkat akibat kurangnya perencanaan kebijakan yang matang. Ada juga berbagai program ambisius yang membebani keuangan negara. Ia menegaskan bahwa agar efisiensi anggaran benar-benar bermanfaat, pemerintah perlu melakukan reformasi struktural yang lebih strategis dan berani.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia— ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Presiden Prabowo Subianto memulai kebijakan pemangkasan anggaran besar-besaran melalui penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Pemotongan ini menyasar anggaran belanja di berbagai kementerian/lembaga (K/L) serta transfer ke daerah. Secara total, pemerintah mengurangi alokasi belanja hingga Rp306,69 triliun—langkah yang dinilai Prabowo krusial untuk meningkatkan efektivitas penggunaan anggaran negara.
Efisiensi ini mencakup dua hal utama. Pertama, pemotongan anggaran K/L sebesar Rp256,1 triliun, dan kedua, pengurangan transfer ke daerah (TKD) senilai Rp50,59 triliun.
Kebijakan pemangkasan anggaran yang diterapkan oleh Prabowo menuai perdebatan, terutama karena berdampak langsung pada sektor-sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan. Banyak pihak khawatir bahwa pengurangan dana ini akan memengaruhi kualitas layanan dasar yang menjadi fondasi bagi kemajuan masyarakat. Pendidikan yang lebih terbatas dan layanan kesehatan yang mungkin berkurang tentu akan berdampak pada kehidupan banyak orang, terutama kelompok rentan.
Di tengah kebijakan ini, muncul diskusi di masyarakat yang membandingkan langkah serupa yang pernah dilakukan di Vietnam. Negara tersebut menghadapi tantangan fiskal dengan strategi yang berbeda, menyesuaikan alokasi anggaran tanpa terlalu mengorbankan layanan esensial. Perbandingan ini menjadi sorotan karena menunjukkan bagaimana berbagai negara mengelola keterbatasan anggaran dengan cara yang berbeda, masing-masing dengan konsekuensi bagi warganya.
Di tingkat global, Vietnam menjadi contoh menarik dalam efisiensi anggaran di tengah pertumbuhan ekonominya yang pesat. Pemerintah Vietnam menerapkan strategi tight fiscal discipline, yaitu kebijakan disiplin fiskal yang ketat dengan fokus pada efisiensi belanja publik. Salah satu langkahnya adalah memprioritaskan anggaran untuk infrastruktur dan pendidikan, sementara belanja birokrasi ditekan agar tidak membebani keuangan negara.
Selain itu, Vietnam juga berhasil mengoptimalkan investasi asing melalui kebijakan insentif yang terukur, memastikan bahwa setiap dana yang masuk benar-benar berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Lantas, bagaimana apabila efisiensi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dibandingkan dengan pemerintah Vietnam? Apakah langkah Presiden Prabowo ini akan menyelamatkan fiskal atau justru membebani masyarakat secara umum?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, lami membahas isu ini bersama Shofwan Al Banna Choiruzzad, seorang akademisi dari Universitas Indonesia.
Shofwan mengulas konsep efisiensi dalam kebijakan ekonomi. Ia menyoroti bagaimana istilah “efisiensi” sering kali digunakan sebagai justifikasi untuk pemotongan layanan publik dan perampingan birokrasi.
Shofwan juga menekankan bahwa dalam banyak kasus, kebijakan efisiensi yang diklaim pemerintah lebih bersifat jangka pendek dan sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik. Sebagai contoh, di banyak negara, pemangkasan subsidi energi sering disebut sebagai langkah efisiensi untuk mengurangi defisit fiskal. Namun, pada kenyataannya, hal ini bisa berdampak buruk bagi masyarakat dengan menurunkan daya beli dan meningkatkan kesenjangan ekonomi.
Dalam konteks Indonesia, ia menyoroti bahwa tantangan utama dalam efisiensi anggaran adalah tekanan fiskal yang terus meningkat akibat kurangnya perencanaan kebijakan yang matang. Ada juga berbagai program ambisius yang membebani keuangan negara. Ia menegaskan bahwa agar efisiensi anggaran benar-benar bermanfaat, pemerintah perlu melakukan reformasi struktural yang lebih strategis dan berani.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia— ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
10 Listeners
40 Listeners
2 Listeners
8 Listeners
1 Listeners
0 Listeners
4 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
14 Listeners
60 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
5 Listeners
45 Listeners
3 Listeners