
Sign up to save your podcasts
Or
Setiap peringatan Hari Buruh Internasional, sorotan terhadap kontribusi pekerja dalam pembangunan sosial-ekonomi menguat, tak terkecuali di Indonesia.
Namun, di balik tuntutan kenaikan upah dan perbaikan hak kerja, terselip kisah pilu pekerja perempuan yang masih berjuang melawan ketimpangan struktural. Diskriminasi gender, beban kerja ganda, serta akses terbatas terhadap perlindungan sosial dan kesehatan kerja menjadikan posisi mereka semakin rentan dalam dunia kerja.
Dalam sektor manufaktur, garmen, hingga pekerjaan domestik, perempuan sering kali terjebak dalam lingkaran upah rendah, kontrak kerja tidak tetap, dan kerentanan terhadap pelecehan.
Realitas ini menunjukkan bahwa keadilan sosial dan kesetaraan gender seharusnya menjadi bagian penting dari agenda peringatan Hari Buruh, bukan sekadar fokus pada aspek ekonomi semata.
Upaya mengatasi masalah ini diwujudkan melalui Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA), salah satunya dengan mengusung kebijakan cuti melahirkan enam bulan.
Namun, kritik mengemuka dari berbagai pihak. Pelaku bisnis mengkhawatirkan beban biaya tambahan, sementara pegiat gender menilai aturan ini berisiko meminggirkan perempuan dari lapangan kerja jika tak diimbangi jaminan perlindungan.
Lalu bagaimana kebijakan dan praktik ketenagakerjaan saat ini dapat diubah agar tidak hanya melindungi buruh perempuan?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berbincang dengan Abby Gina Boang Manalu, direktur eksekutif dari Jurnal Perempuan dan juga dosen jurusan Filsafat Universitas Indonesia.
Abby secara tegas menyoroti bagaimana sistem kerja yang ada masih sangat bias gender. Ini diwarisi dari struktur sosial patriarkal yang mengakar kuat. Menurutnya, selama perempuan terus dianggap sebagai pelengkap dalam sistem ekonomi, bukan sebagai pelaku utama, maka kesenjangan akan terus dibiarkan tumbuh.
Abby menekankan bahwa perempuan menghadapi tekanan ganda sebagai pencari nafkah dan pengasuh keluarga, namun sistem kerja formal belum cukup adaptif dalam mengakomodasi realitas ini. Ia mendorong hadirnya kebijakan yang tidak hanya mengakui tetapi juga melindungi hak-hak perempuan secara substantif seperti cuti menstruasi, cuti paternitas untuk mendorong kesetaraan peran pengasuhan, serta mekanisme perlindungan dari kekerasan seksual di tempat kerja.
Menurutnya, keberadaan lingkungan kerja yang aman dan adil bukan sekadar fasilitas tambahan, tetapi prasyarat utama bagi terwujudnya partisipasi perempuan yang bermakna dalam dunia kerja.
Ia juga menekankan bahwa perubahan tidak akan datang dari atas saja. Perumusan kebijakan harus melibatkan suara perempuan pekerja, khususnya mereka yang berada di sektor informal dan akar rumput, agar kebijakan tidak bersifat elitis dan mengambang.
Abby mengingatkan bahwa banyak intervensi kebijakan selama ini gagal karena hanya berdasarkan asumsi teknokratik, bukan pengalaman nyata perempuan di lapangan.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Setiap peringatan Hari Buruh Internasional, sorotan terhadap kontribusi pekerja dalam pembangunan sosial-ekonomi menguat, tak terkecuali di Indonesia.
Namun, di balik tuntutan kenaikan upah dan perbaikan hak kerja, terselip kisah pilu pekerja perempuan yang masih berjuang melawan ketimpangan struktural. Diskriminasi gender, beban kerja ganda, serta akses terbatas terhadap perlindungan sosial dan kesehatan kerja menjadikan posisi mereka semakin rentan dalam dunia kerja.
Dalam sektor manufaktur, garmen, hingga pekerjaan domestik, perempuan sering kali terjebak dalam lingkaran upah rendah, kontrak kerja tidak tetap, dan kerentanan terhadap pelecehan.
Realitas ini menunjukkan bahwa keadilan sosial dan kesetaraan gender seharusnya menjadi bagian penting dari agenda peringatan Hari Buruh, bukan sekadar fokus pada aspek ekonomi semata.
Upaya mengatasi masalah ini diwujudkan melalui Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA), salah satunya dengan mengusung kebijakan cuti melahirkan enam bulan.
Namun, kritik mengemuka dari berbagai pihak. Pelaku bisnis mengkhawatirkan beban biaya tambahan, sementara pegiat gender menilai aturan ini berisiko meminggirkan perempuan dari lapangan kerja jika tak diimbangi jaminan perlindungan.
Lalu bagaimana kebijakan dan praktik ketenagakerjaan saat ini dapat diubah agar tidak hanya melindungi buruh perempuan?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berbincang dengan Abby Gina Boang Manalu, direktur eksekutif dari Jurnal Perempuan dan juga dosen jurusan Filsafat Universitas Indonesia.
Abby secara tegas menyoroti bagaimana sistem kerja yang ada masih sangat bias gender. Ini diwarisi dari struktur sosial patriarkal yang mengakar kuat. Menurutnya, selama perempuan terus dianggap sebagai pelengkap dalam sistem ekonomi, bukan sebagai pelaku utama, maka kesenjangan akan terus dibiarkan tumbuh.
Abby menekankan bahwa perempuan menghadapi tekanan ganda sebagai pencari nafkah dan pengasuh keluarga, namun sistem kerja formal belum cukup adaptif dalam mengakomodasi realitas ini. Ia mendorong hadirnya kebijakan yang tidak hanya mengakui tetapi juga melindungi hak-hak perempuan secara substantif seperti cuti menstruasi, cuti paternitas untuk mendorong kesetaraan peran pengasuhan, serta mekanisme perlindungan dari kekerasan seksual di tempat kerja.
Menurutnya, keberadaan lingkungan kerja yang aman dan adil bukan sekadar fasilitas tambahan, tetapi prasyarat utama bagi terwujudnya partisipasi perempuan yang bermakna dalam dunia kerja.
Ia juga menekankan bahwa perubahan tidak akan datang dari atas saja. Perumusan kebijakan harus melibatkan suara perempuan pekerja, khususnya mereka yang berada di sektor informal dan akar rumput, agar kebijakan tidak bersifat elitis dan mengambang.
Abby mengingatkan bahwa banyak intervensi kebijakan selama ini gagal karena hanya berdasarkan asumsi teknokratik, bukan pengalaman nyata perempuan di lapangan.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
13 Listeners
40 Listeners
2 Listeners
8 Listeners
1 Listeners
0 Listeners
4 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
13 Listeners
62 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
5 Listeners
49 Listeners
3 Listeners