
Sign up to save your podcasts
Or
Setiap tahun, tanggal 8 Maret dijadikan sebagai momen global untuk merayakan Hari Perempuan Internasional, sebuah refleksi atas perjalanan panjang menuntut keadilan gender. Lebih dari seratus tahun diperingati, hari ini tidak hanya menjadi simbol apresiasi atas peran perempuan dalam berbagai sektor, tetapi juga pengingat akan hambatan struktural yang masih menghalangi kesetaraan.
Awal mula peringatan ini berakar dari gerakan buruh pada awal abad ke-20. Pada 1908, gelombang protes besar-besaran digaungkan oleh 15.000 perempuan di New York, Amerika Serikat, yang memperjuangkan hak-hak dasar seperti jam kerja yang adil, upah setara, dan hak suara dalam pemilihan umum.
Aksi heroik ini menjadi pemicu lahirnya gerakan kolektif global, yang kemudian dikukuhkan sebagai agenda tahunan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan lintas generasi.
Peringatan Hari Perempuan Internasional 2025 dirayakan dengan mengusung tema For ALL women and girls: Rights. Equality. Empowerment. Tema tahun ini menyerukan tindakan yang dapat membuka persamaan hak, kekuasaan, dan peluang bagi semua orang dan masa depan feminis di mana tidak ada yang tertinggal.
Lantas, bagaimana peringatan ini dikaitkan dengan situasi perempuan di Indonesia?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berbincang dengan Nila Tanzil, seorang kandidat doktoral dari Curtin University, Australia.
Nila melihat, perempuan masih menghadapi tantangan struktural yang menghambat karier mereka. Menurutnya, meski memiliki kompetensi yang setara dengan laki-laki, perempuan masih sering menemui disparitas upah dan minimnya kesempatan untuk menduduki posisi eksekutif.
Tantangan ini semakin terasa di daerah terpencil, di mana norma sosial yang patriarkal masih membatasi peran perempuan di ruang publik. Di banyak tempat, perempuan diharapkan tetap fokus pada peran domestik, sementara kesempatan untuk mengambil keputusan dalam dunia profesional masih terbatas.
Selain hambatan dari lingkungan, perempuan juga sering menghadapi tekanan dari dalam diri sendiri. Banyak yang mengalami imposter syndrome, yaitu perasaan ragu terhadap kemampuan sendiri, meskipun sebenarnya mereka kompeten.
Bagi Nila, kesetaraan bukan hanya soal akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, tetapi juga kebebasan untuk keluar dari ekspektasi sosial yang mengekang. Ia ingin perempuan memiliki ruang untuk berkembang, baik dalam karier maupun di luar profesi, tanpa harus merasa bersalah karena memilih jalan yang berbeda dari norma yang ada.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia— ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Setiap tahun, tanggal 8 Maret dijadikan sebagai momen global untuk merayakan Hari Perempuan Internasional, sebuah refleksi atas perjalanan panjang menuntut keadilan gender. Lebih dari seratus tahun diperingati, hari ini tidak hanya menjadi simbol apresiasi atas peran perempuan dalam berbagai sektor, tetapi juga pengingat akan hambatan struktural yang masih menghalangi kesetaraan.
Awal mula peringatan ini berakar dari gerakan buruh pada awal abad ke-20. Pada 1908, gelombang protes besar-besaran digaungkan oleh 15.000 perempuan di New York, Amerika Serikat, yang memperjuangkan hak-hak dasar seperti jam kerja yang adil, upah setara, dan hak suara dalam pemilihan umum.
Aksi heroik ini menjadi pemicu lahirnya gerakan kolektif global, yang kemudian dikukuhkan sebagai agenda tahunan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan lintas generasi.
Peringatan Hari Perempuan Internasional 2025 dirayakan dengan mengusung tema For ALL women and girls: Rights. Equality. Empowerment. Tema tahun ini menyerukan tindakan yang dapat membuka persamaan hak, kekuasaan, dan peluang bagi semua orang dan masa depan feminis di mana tidak ada yang tertinggal.
Lantas, bagaimana peringatan ini dikaitkan dengan situasi perempuan di Indonesia?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berbincang dengan Nila Tanzil, seorang kandidat doktoral dari Curtin University, Australia.
Nila melihat, perempuan masih menghadapi tantangan struktural yang menghambat karier mereka. Menurutnya, meski memiliki kompetensi yang setara dengan laki-laki, perempuan masih sering menemui disparitas upah dan minimnya kesempatan untuk menduduki posisi eksekutif.
Tantangan ini semakin terasa di daerah terpencil, di mana norma sosial yang patriarkal masih membatasi peran perempuan di ruang publik. Di banyak tempat, perempuan diharapkan tetap fokus pada peran domestik, sementara kesempatan untuk mengambil keputusan dalam dunia profesional masih terbatas.
Selain hambatan dari lingkungan, perempuan juga sering menghadapi tekanan dari dalam diri sendiri. Banyak yang mengalami imposter syndrome, yaitu perasaan ragu terhadap kemampuan sendiri, meskipun sebenarnya mereka kompeten.
Bagi Nila, kesetaraan bukan hanya soal akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, tetapi juga kebebasan untuk keluar dari ekspektasi sosial yang mengekang. Ia ingin perempuan memiliki ruang untuk berkembang, baik dalam karier maupun di luar profesi, tanpa harus merasa bersalah karena memilih jalan yang berbeda dari norma yang ada.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia— ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
18 Listeners
40 Listeners
2 Listeners
8 Listeners
1 Listeners
0 Listeners
5 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
13 Listeners
59 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
5 Listeners
47 Listeners
3 Listeners