
Sign up to save your podcasts
Or
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% hampir pasti bakal berlaku pada tahun 2025 mendatang. Kenaikkan ini merupakan mandat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). PPN adalah instrumen fiskal yang mentarifi pembelian barang dan jasa hasil industri kepada masyarakat.
Selain sudah jadi mandat undang-undang, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim bahwa penyesuaian tarif ini juga bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia secara global, khususnya dengan rata-rata tarif PPN yang diterapkan oleh negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Saat ini, tarif PPN Indonesia masih lebih rendah dibandingkan rata-rata tarif pajak negara-negara dunia.
Di tingkat teknis, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sedang mengebut aturan teknis pemberlakuan tarif baru ini. Apakah kenaikan PPN ini akan berdampak terhadap perekonomian Indonesia? Adakah dampak yang akan dirasakan langsung oleh masyarakat?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini dengan Jaya Darmawan, peneliti ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS).
Jaya mengatakan kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% ini mempelihatkan kurangnya sense of crisis dari pemerintah. Sebab situasi ekonomi masyarakat yang sedang sulit. Hal tersebut terlihat dari tren deflasi yang stabil terjadi beberapa bulan terakhir. Jaya berpendapat seharusnya pemerintah melihat situasi ekonomi masyarakat saat ini sebelum memutuskan untuk menaikkan tarif PPN.
Meskipun tidak menampik kebijakan ini akan membuat penerimaan negara akan meningkat, namun Jaya melihat kebijakan ini bisa jadi bomerang yang jutru bisa kian memperlambat pertumbuhan ekonomi. Penurunan tersebut karena konsumsi penopang nilai produk domestik bruto Indonesia berpotensi akan mengalami penurunan. Alhasil, target pertumbuhan ekonomi yang dipatok pemerintahan Prabowo-Gibran sebesar 8% hanya menjadi janji kampanye semata tanpa realisasi nyata.
Jaya menyarankan agar pemerintah harus mempertimbangkan menerapkan pajak yang adil, alih-alih meningkatkan PPN. Ia menambahkan, sudah banyak jurnal dan hasil riset yang menunjukkan dengan penerapan sistem pajak yang menggunakan prinsip berkeadilan dan tata kelola yang baik justru bisa memberikan negara pemasukan yang lebih banyak daripada menaikkan PPN saat ini.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% hampir pasti bakal berlaku pada tahun 2025 mendatang. Kenaikkan ini merupakan mandat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). PPN adalah instrumen fiskal yang mentarifi pembelian barang dan jasa hasil industri kepada masyarakat.
Selain sudah jadi mandat undang-undang, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim bahwa penyesuaian tarif ini juga bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia secara global, khususnya dengan rata-rata tarif PPN yang diterapkan oleh negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Saat ini, tarif PPN Indonesia masih lebih rendah dibandingkan rata-rata tarif pajak negara-negara dunia.
Di tingkat teknis, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sedang mengebut aturan teknis pemberlakuan tarif baru ini. Apakah kenaikan PPN ini akan berdampak terhadap perekonomian Indonesia? Adakah dampak yang akan dirasakan langsung oleh masyarakat?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini dengan Jaya Darmawan, peneliti ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS).
Jaya mengatakan kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% ini mempelihatkan kurangnya sense of crisis dari pemerintah. Sebab situasi ekonomi masyarakat yang sedang sulit. Hal tersebut terlihat dari tren deflasi yang stabil terjadi beberapa bulan terakhir. Jaya berpendapat seharusnya pemerintah melihat situasi ekonomi masyarakat saat ini sebelum memutuskan untuk menaikkan tarif PPN.
Meskipun tidak menampik kebijakan ini akan membuat penerimaan negara akan meningkat, namun Jaya melihat kebijakan ini bisa jadi bomerang yang jutru bisa kian memperlambat pertumbuhan ekonomi. Penurunan tersebut karena konsumsi penopang nilai produk domestik bruto Indonesia berpotensi akan mengalami penurunan. Alhasil, target pertumbuhan ekonomi yang dipatok pemerintahan Prabowo-Gibran sebesar 8% hanya menjadi janji kampanye semata tanpa realisasi nyata.
Jaya menyarankan agar pemerintah harus mempertimbangkan menerapkan pajak yang adil, alih-alih meningkatkan PPN. Ia menambahkan, sudah banyak jurnal dan hasil riset yang menunjukkan dengan penerapan sistem pajak yang menggunakan prinsip berkeadilan dan tata kelola yang baik justru bisa memberikan negara pemasukan yang lebih banyak daripada menaikkan PPN saat ini.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
13 Listeners
40 Listeners
2 Listeners
8 Listeners
1 Listeners
0 Listeners
4 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
13 Listeners
62 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
5 Listeners
49 Listeners
3 Listeners