Share Lagi Pengen Bacot
Share to email
Share to Facebook
Share to X
Naruto merupakan serial mangga karya Masashi Kishimoto, yang muncul pada Agustus 1997
pada komik one shot yang diterbitkan dalam edisi Akamaru Jump dan berkembang menjadi
Naruto yang kita kenal saat ini pada tahun 1999. Manga Naruto pertama kali diterbitkan
di Jepang oleh Shuesha dalam edisi ke-43 majalan Shonen Jump. Sedangkan di Indonesia
sendiri, Naruto diterbitkan oleh Elex Media Komputindo.
Karena kepopuleran Naruto menyaingi Dragon Ball karya Akira Toriyama. Naruto pun
dibuatkan anime nya oleh studio Pierrot dan Aniplex dan disiarkan perdana di
Jepang oleh TV Tokyo pada 3 Oktober 2002. Anime Naruto kemudian disiarkan di
Indonesia melalui Trans TV, yang kemudian ditayangkan lebih lanjut oleh Global TV.
Hanya saja, saat ini kita sudah tidak bisa menemukan film Naruto lagi di siaran
tv Indonesia karena masuk dalam katagori anime yang dilarang oleh KPI untuk
ditayangkan di Indonesia. Menurut KPI, berdasarkan survei yang dilakukan dari
tahun 2012 hingga maret 2013 menurut komisioner KPI, Nina Armando, ada beberapa
film yang masuk dalam katagori pelanggaran terhadap anak yaitu jika tayangan
memunculkan adegan kekerasan, mistik, supranatural serta seks (Detik News, Kamis 25
Aprl 2013). Karena Naruto memunculkan adegan kekerasan shingga penanyangannya pun
dilarang di Indonesia.
Dari peristiwa ini muncul lah sebuah pertanyaan, apakah benar pengaruh anime
Naruto berdampak terhadap tindak kekerasan remaja?
Sebenarnya lebih berhak menjawab pertanyaan ini adalah pakar anime Naruto
itu sendiri tapi karena saat ini saya belum menemukan artikel, skripsi
atau disertasi mengenai ini saya mencoba untuk menjawab dengan melakukan
riset kecil kecilan.
Membahas Anime Naruto seperti kita menelaah sebuah video atau artikel. Jika
kita tidak membaca atau menonton sampai habis maka kesimpulan yang akan kita
dapat akan keliru dan hal inilah yang menyebabkan miss understanding. Menurut
saya, tindakan KPI dalam menggolongkan Naruto kedalam katagori kekerasan itu
tidak salah. Karena hampir semua chapter dalam Naruto tidak luput dari aksi
baku hantam. Hanya saja, jika dikaitkan dengan mempengaruhi terhadap tindak
kekerasan remaja saya kurang setuju.
Menurut disertasi Brent Allison dari Universitas Gorgia
dengan judul "Autenticity From Cartoons : U.S Japannese Animation Fandom
Agency of Informal Cultural Education" mengatakan "penggemar anime lebih
menyukai kekerasan yang memiliki alasan" dengan kata lain para Otaku hanya
sebagai penikmat bukan pelaku.
Hal ini saya definisikan sederhana sebagai berikut :
Film Rambo, menceritakan tentang perang antara Amerika dengan Vietnam dan Rusia.
Pengemar film ini banyak, bahkan filmnya selalu masuk Box Office. Pertanyaanya
apakah para pengemar film Rambo jadi suka cari keributan dan perang? jawabannya
pasti tidak.
Begitu juga dengan para Otaku Naruto. Walaupun banyak adegan baku hantam, para otaku
Naruto lebih cenderung "menjauhi perkelahian" bahkan sangat jauh dari sebutan "abang
Jago". Mengacu kepada perkataan Mizuko Ito, kata "Otaku" juga bisa dipakai
kepada orang diluar Jepang (Gai jin) yang menyukai tentang Japan Pop Culture
terutama Anime dan Mangga. Hanya saja, makna nya lebih mendekati kepada
"Nerd / Geek" (orang aneh / kutu buku ). Lagi pula, nilai moral yang ingin
disampaikan oleh Masashi Kishimoto bukan "baku hantamnya" tapi nilai kerja keras,
rela berkorban, setia kawan, dan tolong menolong.
Sebenernya Kata Otaku sudah muncul sebelum era 90 an namun terjadi pergeseran
makna pada era 90 an yang menurut pendapat Mizuko Ito mengacu atau memiliki
arti sebagai seseorang yang menekuni / mendalami hobi tertentu melebihi orang
lain pada umumnya.Sebelum era 90 an sebelum kata Otaku booming, di Jepang
menggunakan kata "Mania" sebagai sebutan orang yang memiliki / mendalami
hobi tertentu. Mizuko Ito juga berpendapat, kata "Otaku" juga bisa dipakai
kepada orang diluar Jepang (Gai jin) yang menyukai tentang Japan Pop Culture
terutama Anime dan Mangga. Hanya saja, makna nya lebih mendekati kepada
"Nerd / Geek" (orang aneh / kutu buku ). Selain itu menurut Nakamori Akio
dalam artikel "Otaku no Kenkyo" kata "otaku" juga bisa disematkan kepada
orang yang tidak minat dalam melakukan kegiatan yang pada umumnya dilakukan
oleh orang lain atau bisa disebut dengan "menutup diri".
Saat kata Otaku masuk ke dalam Indonesia, terjadi pergeseran makna
dan artinya lebih kepada untuk menyebut "suatu komunitas" pecinta Japanesee
Pop Culture dan untuk menyebut per oranganya lebih dikenal dengan
kata "Wibu". Padahal menurut Patrick W. Galbraith dalam bukunya "the otaku
encyclopedia : An insider's Guide to the subculture of Cool Japan" Wibu
adalah suatu kata hinaan untuk orang orang "non jepang" (Gaijin) yang
bergaya, berpenampilan, dan meniru budaya orang Jepang yang didapat dari
Anime, mangga atupun video game. Kata hinaan ini dipakai untuk merendahkan para
otaku di luar Jepang.
The podcast currently has 8 episodes available.