
Sign up to save your podcasts
Or
Belakangan, kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) bermodus magang di Jerman menyedot perhatian publik. Bareskrim Polri menyatakan bahwa 1.047 mahasiswa telah menjadi korban TPPO berkedok program magang ke Jerman. Alih-alih mengikuti program magang, para mahasiswa ini justru melakukan ferienjob yang sebenarnya adalah kerja paruh waktu di masa liburan.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro menyebutkan bahwa kasus tersebut bermula dari adanya laporan dari KBRI Jerman mengenai empat mahasiswa yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Para korban TPPO ini diberangkatkan oleh 3 agen tenaga kerja yang berbeda dan sudah menjalin kerjasama dengan banyak kampus di Indonesia. Bahkan agen tenaga kerja tersebut mengaku bahwa program magang itu juga diklaim termasuk dalam Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi.
Dari kasus ini, apa yang bisa kita pelajari bersama untuk memperbaiki program magang yang berjalan di universitas?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas permasalahan ini dengan Yogie Pranowo, akademisi dari Universitas Multimedia Nusantara.
Yogie mengatakan kasus ini adalah salah satu dampak dari permasalahan sistemik branding kampus secara masif tanpa meninjau ulang langkah yang mereka lakukan. Banyak kampus melakukan kerja sama dengan organisasi luar negeri agar terlihat apik di mata masyarakat tanpa mencari informasi mengenai kredibilitas lembaga yang diajak bekerja sama.
Yogie menambahkan, pentingnya kampus memahami konsep MBKM dan merencanakan strategi yang matang dalam pelaksanaannya. Program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) yang terdapat dalam MBKM bertujuan untuk mengasah keterampilan praktis mahasiswa agar persoalan job-education mismatch bisa teratasi. Namun, tanpa perencanaan yang baik, pihak universitas justru dapat terjebak dalam permasalahan baru yang nantinya akan muncul.
Ia berpendapat, langkah ini bisa dilakukan dengan menyiapkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas, penguatan kepribadian mahasiswa, hingga pengawasan yang baik dalam pelaksanaan hingga proses evaluasi.
Simak obrolan lengkapnya hanya di SuarAkademia–ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Belakangan, kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) bermodus magang di Jerman menyedot perhatian publik. Bareskrim Polri menyatakan bahwa 1.047 mahasiswa telah menjadi korban TPPO berkedok program magang ke Jerman. Alih-alih mengikuti program magang, para mahasiswa ini justru melakukan ferienjob yang sebenarnya adalah kerja paruh waktu di masa liburan.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro menyebutkan bahwa kasus tersebut bermula dari adanya laporan dari KBRI Jerman mengenai empat mahasiswa yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Para korban TPPO ini diberangkatkan oleh 3 agen tenaga kerja yang berbeda dan sudah menjalin kerjasama dengan banyak kampus di Indonesia. Bahkan agen tenaga kerja tersebut mengaku bahwa program magang itu juga diklaim termasuk dalam Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi.
Dari kasus ini, apa yang bisa kita pelajari bersama untuk memperbaiki program magang yang berjalan di universitas?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas permasalahan ini dengan Yogie Pranowo, akademisi dari Universitas Multimedia Nusantara.
Yogie mengatakan kasus ini adalah salah satu dampak dari permasalahan sistemik branding kampus secara masif tanpa meninjau ulang langkah yang mereka lakukan. Banyak kampus melakukan kerja sama dengan organisasi luar negeri agar terlihat apik di mata masyarakat tanpa mencari informasi mengenai kredibilitas lembaga yang diajak bekerja sama.
Yogie menambahkan, pentingnya kampus memahami konsep MBKM dan merencanakan strategi yang matang dalam pelaksanaannya. Program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) yang terdapat dalam MBKM bertujuan untuk mengasah keterampilan praktis mahasiswa agar persoalan job-education mismatch bisa teratasi. Namun, tanpa perencanaan yang baik, pihak universitas justru dapat terjebak dalam permasalahan baru yang nantinya akan muncul.
Ia berpendapat, langkah ini bisa dilakukan dengan menyiapkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas, penguatan kepribadian mahasiswa, hingga pengawasan yang baik dalam pelaksanaan hingga proses evaluasi.
Simak obrolan lengkapnya hanya di SuarAkademia–ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
15 Listeners
40 Listeners
2 Listeners
8 Listeners
1 Listeners
0 Listeners
4 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
13 Listeners
60 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
5 Listeners
49 Listeners
3 Listeners