
Sign up to save your podcasts
Or
Pemerintah Indonesia kembali menggulirkan program Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebagai bagian dari upaya menjaga daya beli masyarakat pekerja di tengah tekanan ekonomi. Program ini mulai dicairkan pada 5 Juni 2025, menyasar para buruh dan pekerja yang memenuhi syarat tertentu sesuai regulasi ketenagakerjaan dan kebijakan ekonomi nasional.
BSU ini dirancang sebagai bentuk intervensi fiskal langsung untuk membantu kelompok pekerja yang terdampak dinamika ekonomi seperti deflasi atau menurunnya daya beli masyarakat. Bantuan ini diberikan sebesar Rp300.000 per bulan selama dua bulan (Juni–Juli) dan langsung dicairkan sekaligus sebesar Rp600.000 pada bulan Juni.
Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp10,72 triliun untuk pelaksanaan program BSU tahun ini. Di tengah tantangan seperti inflasi dan ketidakpastian global, pemerintah berharap bantuan semacam ini bisa menjadi stimulan bagi masyarakat supaya tetap bisa menggerakkan roda ekonomi.
Apakah pemberian BSU ini benar benar menjadi solusi jitu untuk menggerakkan perekonomian negara yang belakangan dianggap lesu?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama Jaya Darmawan, peneliti ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS).
Jaya berpendapat BSU menjadi salah satu instrumen andalan pemerintah untuk merespons tekanan ekonomi yang dialami masyarakat kelas pekerja. Meskipun program BSU bermanfaat dalam jangka pendek, ia menganggap besaran bantuannya belum mampu mengimbangi tekanan ekonomi saat ini.
Salah satu masalah yang menurut Jaya juga perlu disoroti adalah kriteria kelayakan penerima manfaat. Banyak pekerja tidak memenuhi syarat bantuan karena batasan administratif yang tidak mempertimbangkan kompleksitas kerja informal.
kriteria penerima BSU ini membuat pekerja yang ada di sektor informal kerap luput dari jangkauan bantuan sosial, meskipun mereka berada dalam posisi paling rentan secara ekonomi.
Meskipun kebijakan pemerintah ini perlu disambut dengan baik, namun Jaya beranggapan langkah-langkah ini masih belum cukup untuk mendorong daya beli masyarakat secara berkelanjutan. Ia berpendapat perlu ada pergeseran arah kebijakan dari sekadar bantuan jangka pendek menuju strategi jangka panjang yang lebih menyeluruh.
Fokus kebijakan pemerintah sebaiknya tidak hanya memperbaiki daya beli secara sementara, tetapi juga membuka akses terhadap pekerjaan yang layak dan mendukung pekerja untuk keluar dari sektor informal. Menurutnya, pemerintah perlu memikirkan strategi yang lebih komprehensif untuk menciptakan kebijakan ekonomi yang tidak hanya responsif terhadap krisis, tetapi juga berorientasi pada transformasi sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Pemerintah Indonesia kembali menggulirkan program Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebagai bagian dari upaya menjaga daya beli masyarakat pekerja di tengah tekanan ekonomi. Program ini mulai dicairkan pada 5 Juni 2025, menyasar para buruh dan pekerja yang memenuhi syarat tertentu sesuai regulasi ketenagakerjaan dan kebijakan ekonomi nasional.
BSU ini dirancang sebagai bentuk intervensi fiskal langsung untuk membantu kelompok pekerja yang terdampak dinamika ekonomi seperti deflasi atau menurunnya daya beli masyarakat. Bantuan ini diberikan sebesar Rp300.000 per bulan selama dua bulan (Juni–Juli) dan langsung dicairkan sekaligus sebesar Rp600.000 pada bulan Juni.
Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp10,72 triliun untuk pelaksanaan program BSU tahun ini. Di tengah tantangan seperti inflasi dan ketidakpastian global, pemerintah berharap bantuan semacam ini bisa menjadi stimulan bagi masyarakat supaya tetap bisa menggerakkan roda ekonomi.
Apakah pemberian BSU ini benar benar menjadi solusi jitu untuk menggerakkan perekonomian negara yang belakangan dianggap lesu?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama Jaya Darmawan, peneliti ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS).
Jaya berpendapat BSU menjadi salah satu instrumen andalan pemerintah untuk merespons tekanan ekonomi yang dialami masyarakat kelas pekerja. Meskipun program BSU bermanfaat dalam jangka pendek, ia menganggap besaran bantuannya belum mampu mengimbangi tekanan ekonomi saat ini.
Salah satu masalah yang menurut Jaya juga perlu disoroti adalah kriteria kelayakan penerima manfaat. Banyak pekerja tidak memenuhi syarat bantuan karena batasan administratif yang tidak mempertimbangkan kompleksitas kerja informal.
kriteria penerima BSU ini membuat pekerja yang ada di sektor informal kerap luput dari jangkauan bantuan sosial, meskipun mereka berada dalam posisi paling rentan secara ekonomi.
Meskipun kebijakan pemerintah ini perlu disambut dengan baik, namun Jaya beranggapan langkah-langkah ini masih belum cukup untuk mendorong daya beli masyarakat secara berkelanjutan. Ia berpendapat perlu ada pergeseran arah kebijakan dari sekadar bantuan jangka pendek menuju strategi jangka panjang yang lebih menyeluruh.
Fokus kebijakan pemerintah sebaiknya tidak hanya memperbaiki daya beli secara sementara, tetapi juga membuka akses terhadap pekerjaan yang layak dan mendukung pekerja untuk keluar dari sektor informal. Menurutnya, pemerintah perlu memikirkan strategi yang lebih komprehensif untuk menciptakan kebijakan ekonomi yang tidak hanya responsif terhadap krisis, tetapi juga berorientasi pada transformasi sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
13 Listeners
40 Listeners
2 Listeners
8 Listeners
1 Listeners
0 Listeners
4 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
13 Listeners
62 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
5 Listeners
49 Listeners
3 Listeners