
Sign up to save your podcasts
Or
Kemiskinan sering dijadikan barometer utama untuk melihat tingkat kesejahteraan sebuah negara dan menjadi pijakan penting dalam merancang kebijakan publik. Namun, mendefinisikan dan mengukurnya ternyata bukan hal yang mudah. Salah pilih pendekatan dan metode bisa menghasilkan potret yang sangat kontras mengenai kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.
Belakangan ini, perbincangan soal kemiskinan di Indonesia kembali mencuat, dipicu oleh perbedaan mencolok antara data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia.
Menurut laporan resmi BPS per September 2024, ada sekitar 24,06 juta orang Indonesia yang dikategorikan hidup di bawah garis kemiskinan yang setara dengan 8,57 persen dari total penduduk. Sementara itu, Bank Dunia menggunakan pendekatan berbeda yang memperkirakan jumlah penduduk miskin mencapai 171,8 juta jiwa, atau sekitar 60,3 persen dari seluruh populasi.
Dengan perbedaan angka yang cukup jauh, mengapa kedua lembaga ini bisa mengeluarkan hasil yang tidak sama? Apakah ada metode perhitungan yang berbeda?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama Dipo Satria Ramli, ekonom dan mahasiswa doktoral di Universitas Indonesia.
Dipo mengatakan Perbedaan antara data BPS dan Bank Dunia bukan terletak pada sumber data, melainkan pada metode penghitungan dan standar hidup yang digunakan. Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan pada angka US$ 6,85 per hari untuk negara yang masuk dalam kategori berpendapatan menengah atas seperti Indonesia, sementara BPS menggunakan standar sekitar Rp20.000.
Dipo berpendapat bahwa garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS mungkin terlalu rendah dan tidak sepenuhnya mencerminkan realitas sosial-ekonomi masyarakat. Hal ini dapat memberikan gambaran yang menyesatkan tentang kondisi sebenarnya.
Dipo menekankan pentingnya penggunaan data yang akurat untuk mendukung kebijakan publik yang efektif. Ia menunjukkan adanya kebingungan dalam definisi kemiskinan di Indonesia dan mendesak agar diterapkan standar yang konsisten, agar perbandingan dengan negara lain menjadi lebih relevan. Ia pun menyarankan agar garis kemiskinan versi Bank Dunia digunakan sebagai acuan dalam membuat perbandingan internasional yang adil dan valid.
Dipo juga melihat pentingnya standar pengukuran yang obyektif dan relevan. Menurutnya, langkah seperti ini mencerminkan keberanian menghadapi kenyataan demi melindungi kelompok rentan, seperti anak-anak yang mengalami kekurangan gizi atau ibu tunggal yang harus bekerja keras demi menghidupi keluarga.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Kemiskinan sering dijadikan barometer utama untuk melihat tingkat kesejahteraan sebuah negara dan menjadi pijakan penting dalam merancang kebijakan publik. Namun, mendefinisikan dan mengukurnya ternyata bukan hal yang mudah. Salah pilih pendekatan dan metode bisa menghasilkan potret yang sangat kontras mengenai kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.
Belakangan ini, perbincangan soal kemiskinan di Indonesia kembali mencuat, dipicu oleh perbedaan mencolok antara data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia.
Menurut laporan resmi BPS per September 2024, ada sekitar 24,06 juta orang Indonesia yang dikategorikan hidup di bawah garis kemiskinan yang setara dengan 8,57 persen dari total penduduk. Sementara itu, Bank Dunia menggunakan pendekatan berbeda yang memperkirakan jumlah penduduk miskin mencapai 171,8 juta jiwa, atau sekitar 60,3 persen dari seluruh populasi.
Dengan perbedaan angka yang cukup jauh, mengapa kedua lembaga ini bisa mengeluarkan hasil yang tidak sama? Apakah ada metode perhitungan yang berbeda?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama Dipo Satria Ramli, ekonom dan mahasiswa doktoral di Universitas Indonesia.
Dipo mengatakan Perbedaan antara data BPS dan Bank Dunia bukan terletak pada sumber data, melainkan pada metode penghitungan dan standar hidup yang digunakan. Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan pada angka US$ 6,85 per hari untuk negara yang masuk dalam kategori berpendapatan menengah atas seperti Indonesia, sementara BPS menggunakan standar sekitar Rp20.000.
Dipo berpendapat bahwa garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS mungkin terlalu rendah dan tidak sepenuhnya mencerminkan realitas sosial-ekonomi masyarakat. Hal ini dapat memberikan gambaran yang menyesatkan tentang kondisi sebenarnya.
Dipo menekankan pentingnya penggunaan data yang akurat untuk mendukung kebijakan publik yang efektif. Ia menunjukkan adanya kebingungan dalam definisi kemiskinan di Indonesia dan mendesak agar diterapkan standar yang konsisten, agar perbandingan dengan negara lain menjadi lebih relevan. Ia pun menyarankan agar garis kemiskinan versi Bank Dunia digunakan sebagai acuan dalam membuat perbandingan internasional yang adil dan valid.
Dipo juga melihat pentingnya standar pengukuran yang obyektif dan relevan. Menurutnya, langkah seperti ini mencerminkan keberanian menghadapi kenyataan demi melindungi kelompok rentan, seperti anak-anak yang mengalami kekurangan gizi atau ibu tunggal yang harus bekerja keras demi menghidupi keluarga.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
25 Listeners
40 Listeners
2 Listeners
8 Listeners
1 Listeners
0 Listeners
5 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
13 Listeners
61 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
5 Listeners
47 Listeners
3 Listeners