“Ketika mutiara berharga sudah ditemukan, melompatlah, berjuang dan buat keputusan untuk meraihnya”
Masa depan dibangun atas pijakan-pijakan dari masa lalu, entah itu dari pengalaman-pengalaman baik atau pengalaman yang kelam. Seberapa kokoh pjijakan kehidupan kita ditentukan dari keberanian kita untuk menemukan kebaikan dalam setiap pengalaman tersebut, dan yang terpenting menemukan panggilan dan kehadiran Tuhan melalui pengalaman itu.
Setelah melalui perjalanan yang panjang, Santa Bahkita yang sudah terbebas dari kejinya kehidupan sebagai seorang budak, dituntun pada sebuah panggilan untuk semakin dan mencintai Tuhan. Pada tahun 1888, Bakhita memilih untuk tetap tinggal di Italia sementara Nyonya Michieli pindah ke Suakin untuk membantu suaminya. Bakhita tinggal di asrama yang dikelola oleh Suster-suster Canossian dari Institut Katekumen di Venice.
Disanalah Bakhita mengenal Tuhan yang ada di hatinya tanpa ia ketahui siapa Ia sebenarnya. Sejak masih kanak-kanak, Bakhita sering bertanya: “Melihat matahari, bulan dan bintang-bintang, saya bertanya kepada diri sendiri, siapakah gerangan Tuan atas semesta yang indah ini? Saya merasakan suatu keinginan yang amat kuat untuk berjumpa dengan-Nya, mengenal-Nya dan menyembah-Nya.”
Pada tanggal 9 Januari 1890, Bakhita menerima sakramen inisiasi dan memperoleh nama baru: Yosefina. Ia tidak tahu bagaimana mengungkapkan sukacitanya pada hari itu. Matanya yang bulat bersinar-sinar, menunjukkan sukacita yang amat mendalam. Sejak hari itu, ia sering terlihat mencium bejana babtis sambil berkata: “Disinilah, aku menjadi anak Allah!” Bakhita merasa inilah saat-saat terindah dalam hidupnya, ia menjadi anak Allah yang sangat dikasihi. Dengan bertambahnya hari, Bakhita semakin mengenal siapa itu Tuhan yang ia kenal dan ia kasihi, yang membimbingnya kepada-Nya melalui cara-Nya yang misterius, Ia yang senantiasa menggenggam tangannya.
Santa Bahkita adalah salahsatu dari segelintir orang yang beruntung dapat terlepas dari jerat perbudakan, saat ini dunia belum bebas dari perbudakan dan perdagangan manusia, prosentase jumlah korban yang berhasil bebas sangatlah kecil. Beberapa dari mereka memutuskan untuk menjadi aktivis untuk melawan perdagangan manusia.
Bagaimana dengan sikap kita dalam menemukan dan menjawab panggilan Tuhan? Apakah kita mampu mengambil sikap seperti Santa Bakhita, dalam penderitaannya Ia justru menemukan Tuhan dan semakin mencintainya. Ia menemukan keberanian untuk membuat sebuah keputusan, mencintai Tuhan dan melayani sesama. Santa Bakhita tetap dapat bersyukur dengan keadaannya, maka selayaknya kita meneladani sikap ini, dan mulai untuk dapat menemukan hal yang dapat disyukuri dari setiap pengalaman kita.
Dengan menjadi anak Allah dan ternaungi kasih serta bimbinganNya, seperti St. Bakhita, kita selayaknya memiliki keberanian untuk selalu membela dan memperjuangkan kehidupan terlebih bagi sesama yang menjadi korban perdagangan manusia. Meski banyak sekali tantangan yang menghadang, Tuhan memberikan keberanian pada kita semua melalui cara-cara yang tidak kita duga agar kita mampu untuk selalu mengambil langkah dalam memberantas perdagangan manusia.