
Sign up to save your podcasts
Or
Kebijakan distribusi perizinan pengelolaan tambang terus mengalami ekspansi, mencerminkan dinamika baru dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Setelah pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo organisasi keagamaan mendapatkan hak pengelolaan tambang, kini wacana serupa kembali mengemuka di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Kali ini, perguruan tinggi digadang-gadang sebagai pihak yang akan memperoleh akses terhadap Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menjadi motor penggerak utama di balik perluasan skema penerima izin ini. Dengan mengirimkan sinyal dukungan terhadap keterlibatan perguruan tinggi dan usaha kecil serta menengah (UKM), Baleg DPR RI mendorong agar akses terhadap WIUPK tidak hanya dikuasai oleh perusahaan besar, tetapi juga dapat dimanfaatkan oleh institusi pendidikan dan pelaku usaha lokal.
Secara konkret, Baleg DPR RI mengusulkan revisi terhadap Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) dengan menambahkan Pasal 51A. Pasal ini secara spesifik mengatur prioritas alokasi WIUP mineral logam bagi perguruan tinggi, yang diharapkan dapat berperan sebagai pusat riset dan inovasi dalam praktik pertambangan yang berkelanjutan.
Wacana pemberian izin pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi memunculkan dilema serius terkait kebebasan akademis. Di satu sisi, skema ini berpotensi membuka peluang bagi kampus untuk mengembangkan riset dan inovasi dalam sektor pertambangan yang berkelanjutan. Namun, di sisi lain, ketergantungan institusi pendidikan pada izin tambang berisiko menggeser orientasi akademis ke arah kepentingan bisnis dan industri, mengorbankan independensi riset yang seharusnya bebas dari tekanan politik maupun ekonomi.
Bagaimana dampak kebijakan ini terhadap kebebasan akademis dan independensi perguruan tinggi dalam menjalankan fungsi pendidikan dan penelitian?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berdiskusi dengan Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia.
Dalam diskusi ini, Fathul mengungkapkan berbagai kekhawatiran dan kritiknya terhadap gagasan pemberian izin pengelolaan pertambangan kepada universitas. Ia merasa terkejut dengan usulan tersebut dan menilai bahwa peran universitas seharusnya berfokus pada pendidikan, penelitian, dan pemberdayaan masyarakat, bukan pada aktivitas bisnis seperti pertambangan.
Fathul juga menyoroti risiko besar yang bisa muncul jika universitas terlalu bergantung pada pemerintah dan sektor swasta dalam pelaksanaan skema konsesi pengelolaan tambang ini. Ia khawatir, kebebasan akademis bisa terancam, dan pada akhirnya, kelompok elite perguruan tinggi serta investor yang memiliki modal lebih besar justru akan lebih diuntungkan dalam situasi ini.
Selain itu, ia mengingatkan bahwa universitas di Indonesia sudah lama menghadapi tantangan berat, mulai dari keterbatasan anggaran hingga kebijakan pemerintah yang kurang memberikan dukungan penuh terhadap pendidikan tinggi. Menurutnya, dorongan agar universitas mencari sumber pendapatan alternatif justru berisiko menggeser fokus utama institusi akademis dari penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan menjadi sekadar mencari keuntungan.
Bagi Fathul, penelitian harus tetap menjadi prioritas utama universitas, dengan tujuan yang jelas: memberikan manfaat sosial serta menerapkan prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab lingkungan. Jika bisnis kampus dianggap sebagai solusi, ia menegaskan bahwa pemerintah seharusnya hadir dengan dukungan dan fasilitas yang lebih memadai, agar universitas tetap bisa menjalankan perannya secara optimal.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia— ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Kebijakan distribusi perizinan pengelolaan tambang terus mengalami ekspansi, mencerminkan dinamika baru dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Setelah pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo organisasi keagamaan mendapatkan hak pengelolaan tambang, kini wacana serupa kembali mengemuka di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Kali ini, perguruan tinggi digadang-gadang sebagai pihak yang akan memperoleh akses terhadap Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menjadi motor penggerak utama di balik perluasan skema penerima izin ini. Dengan mengirimkan sinyal dukungan terhadap keterlibatan perguruan tinggi dan usaha kecil serta menengah (UKM), Baleg DPR RI mendorong agar akses terhadap WIUPK tidak hanya dikuasai oleh perusahaan besar, tetapi juga dapat dimanfaatkan oleh institusi pendidikan dan pelaku usaha lokal.
Secara konkret, Baleg DPR RI mengusulkan revisi terhadap Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) dengan menambahkan Pasal 51A. Pasal ini secara spesifik mengatur prioritas alokasi WIUP mineral logam bagi perguruan tinggi, yang diharapkan dapat berperan sebagai pusat riset dan inovasi dalam praktik pertambangan yang berkelanjutan.
Wacana pemberian izin pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi memunculkan dilema serius terkait kebebasan akademis. Di satu sisi, skema ini berpotensi membuka peluang bagi kampus untuk mengembangkan riset dan inovasi dalam sektor pertambangan yang berkelanjutan. Namun, di sisi lain, ketergantungan institusi pendidikan pada izin tambang berisiko menggeser orientasi akademis ke arah kepentingan bisnis dan industri, mengorbankan independensi riset yang seharusnya bebas dari tekanan politik maupun ekonomi.
Bagaimana dampak kebijakan ini terhadap kebebasan akademis dan independensi perguruan tinggi dalam menjalankan fungsi pendidikan dan penelitian?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berdiskusi dengan Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia.
Dalam diskusi ini, Fathul mengungkapkan berbagai kekhawatiran dan kritiknya terhadap gagasan pemberian izin pengelolaan pertambangan kepada universitas. Ia merasa terkejut dengan usulan tersebut dan menilai bahwa peran universitas seharusnya berfokus pada pendidikan, penelitian, dan pemberdayaan masyarakat, bukan pada aktivitas bisnis seperti pertambangan.
Fathul juga menyoroti risiko besar yang bisa muncul jika universitas terlalu bergantung pada pemerintah dan sektor swasta dalam pelaksanaan skema konsesi pengelolaan tambang ini. Ia khawatir, kebebasan akademis bisa terancam, dan pada akhirnya, kelompok elite perguruan tinggi serta investor yang memiliki modal lebih besar justru akan lebih diuntungkan dalam situasi ini.
Selain itu, ia mengingatkan bahwa universitas di Indonesia sudah lama menghadapi tantangan berat, mulai dari keterbatasan anggaran hingga kebijakan pemerintah yang kurang memberikan dukungan penuh terhadap pendidikan tinggi. Menurutnya, dorongan agar universitas mencari sumber pendapatan alternatif justru berisiko menggeser fokus utama institusi akademis dari penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan menjadi sekadar mencari keuntungan.
Bagi Fathul, penelitian harus tetap menjadi prioritas utama universitas, dengan tujuan yang jelas: memberikan manfaat sosial serta menerapkan prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab lingkungan. Jika bisnis kampus dianggap sebagai solusi, ia menegaskan bahwa pemerintah seharusnya hadir dengan dukungan dan fasilitas yang lebih memadai, agar universitas tetap bisa menjalankan perannya secara optimal.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia— ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
14 Listeners
40 Listeners
2 Listeners
8 Listeners
1 Listeners
0 Listeners
4 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
13 Listeners
61 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
5 Listeners
49 Listeners
3 Listeners