Di musim penghujan dan, naudzubillah min dzalik, bencana seperti sekarang, memiliki gambaran tentang cuaca ke depan sangatlah membantu. Akan lebih menenangkan bila kita tahu besok kemungkinannya hujan atau cerah. Bukan hanya bagi yang berencana menghelat hajatan, tetapi juga bagi yang perlu bepergian dengan jalan kaki, mengayuh sepeda, atau mengendarai sepeda motor.
Dulu, ada acara ramalan cuaca di televisi. Mungkin sampai sekarang, beberapa stasiun televisi pun masih menyelipkan tayangan semacam ini. Tidak perlu televisi, coba periksa saja ponsel pintar atau laptop milik Sohib Solutif. InsyaAllah, biasanya di sana sudah terinstal aplikasi prakiraan cuaca. Bisa dijalankan bila kita terkoneksi dengan internet.
Hari ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) memungkinkan siapapun mengakses “ramalan” cuaca ini. Sehingga kita dapat mengira-ngira, beberapa jam atau hari ke depan, akan mendung, berangin, hujan, atau malah cerah-cerah saja. Bahkan berapa suhu di setiap kota di dunia dapat kita ketahui perkiraannya.
Problemnya, sebagai umat Islam, bolehkah kita mempercayai prediksi-prediksi tersebut? Tidakkah ramalan cuaca tergolong praktik pernujuman yang berpotensi menjerumuskan kita pada perilaku syirik?
Mayoritas ulama sepakat kedua permasalahan itu berbeda. Ramalan cuaca sama sekali tidak menggunakan jasa dukun atau cenayang. Metodenya sama ilmiahnya dengan bagaimana para ahli memprediksi waktu terjadinya gerhana, tsunami, angin topan, atau fenomena-fenomena alam lainnya.
Menurut Ustaz Adi Hidayat, Lc., M.A., jenis ramalan semacam ini tidak menyalahi akidah. Sebab, semuanya dibuat berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah.
Prakiraan cuaca yang jamak kita temui, baik di televisi, Google, Microsoft Weather, situs web Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), atau lainnya jelas memakai acuan-acuan indrawi yang terukur dalam memprediksi iklim. Misalnya, berdasarkan pergerakan angin dan awan.
Jadi, tidak mengapa kita memanfaatkan prakiraan cuaca sebagai panduan dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Namun, yang harus dibenahi di sisi kita menurut ustaz yang akrab disapa UAH ini, pertama, adalah pilihan katanya. Alih-alih menggunakan kata “ramal” dan “pasti”, gunakan kata “prakiraan”, “perkiraan”, atau “prediksi”.
Kedua, jangan menganggapnya sebagai sebuah kepastian, karena cuaca sejatinya murni ranah prerogatif Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka dari itu, percaya pada prakiraan cuaca harusnya tidak sama dengan mengimaninya. Toh faktanya, sudah banyak terbukti, prakiraan cuaca seilmiah apapun juga bisa meleset. Namanya saja cuma perkiraan.
Bagaimana penjelasan detail mengenai masalah ini? Apa saja dalil-dalilnya? Apa kata Al-Quran tentang cuaca? Simak episode podcast Islam Solutif ini.
Jangan lupa, ikuti juga Islam Solutif di:
Web
Facebook
Instagram
Twitter
YouTube
GoodReads