_Telah disiapkannya sebuah cangkir, krim pengganti gula, kopi dan alat seduh_.
Ia kehilangan jawaban untuk pertanyaan setiap orang yang tidak sengaja berpapasan dengannya dan melihat kedua matanya yang menyimpan hitam.
_Kopi telah didih, ia memindahkannya ke dalam cangkir. Mencampur satu sendok krim pengganti gula_.
Hari-hari telanjur jadi malam, langit tidak bersahabat dan dingin mengenali dadanya dengan sangat baik. Ia merasa sedang bermain jungkat jungkit, sebentar di atas, sebentar di bawah—tapi tidak ke mana-mana.
_Ia membiarkan panas hilang dari kopinya. Lima menit untuk sesap pertama dari kopi bernama kota yang tak disukainya_.
Ia menemukan dirinya dan dirinya yang lain dalam sebuah cermin. Dirinya yang ingin menyerah dan dirinya yang keras kepala untuk menyakiti dirinya sendiri.
_Ia menyesap kopi itu untuk kedua kalinya. Rasanya tak lebih pahit dari kesedihan._
Ia berada di antara rasa percaya dan keraguan—seperti di ambang malam dan pagi ketika semua gelap tetapi terlalu larut untuk tidur dan terlalu dini untuk membuka jendela.
_Ia menatap kopi di cangkir kesukaan yang isinya sisa seperempat. Ia melihat gelombang laut, bergelegak, seperti amuk badai_.
Membayangkan hal-hal sederhana dan menyenangkan tidak menyelamatkannya dari serangan ingin menyerah, dari apa pun yang disebut kehidupan.
_Ia meneguk kopi yang tersisa. Meletakkan cangkir dan menatap langit-langit_.
Ada begitu banyak barangkali dan kemungkinan, ia ingin menjadi salah satu di antaranya. Tidak sebagai apa pun, cukup sebagai dirinya yang dulu—yang mampu membuka mata dan menerima matahari.
_Kopinya tandas. Hanya ada endapan. Seperti pikiran buruk yang tidak tergerus_.