Adven kali ini berbeda. Kita masih berjibaku dengan pandemi yang memaksa kita hidup dengan kebiasaan baru, yang kita kenal dengan istilah new normal. Ditambah kisah tragis yang dialami oleh satu keluarga di desa Lembantongoa, kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah yang dibunuh secara keji oleh kelompok Mujahiddin Indosesia Timur. Jadi Adven tahun ini kita berada di tengah pandemi dan tragedi. Lalu apa maknanya bagi kita?
Pandemi dan tragedi yang terjadi seolah-olah menjadi katalisator yang memperdalam pencarian makna tentang Adven. Di saat umat Kristen menantikan datangnya Kristus, negeri kita menantikan rekonsiliasi, dan dunia pun tengah menantikan pemulihan atas pandemi. Kita semua sama-sama berada di masa penantian. Entah kapan terwujudnya, yang pasti penantian itu menjadi penanda harapan. Kita menantikan sesuatu karena memiliki harapan atas sesuatu itu. Hanya orang-orang yang memiliki harapanlah yang bisa melakukan penantiaan. Semua hal itu membuat makna Adven ini terasa lebih membumi, karena relate banget dengan realitas dan konteks saat ini. Dalam situasi seperti ini, kita diajak untuk membuka mata dan membuka hati. Tidak hanya membuka mata dan hati, tetapi kita juga diajak memberi ruang bagi perjuangan dan penantian orang lain di dalam konstruksi penantian kita, dan menjadikan penantian mereka sebagai penantian kita juga. Menjadikan harapan mereka sebagai harapan kita juga. Dengan demikian, segala upaya dan perjuangan yang kita lakukan, seharusnya upaya dan perjuangan itu bukan hanya diperuntukkan bagi diri kita sendiri, tetapi bagi pemenuhan penantian dan harapan orang lain di sekeliling kita. Jadi selalu ada sisi komunal di dalam ruang personal kita. Selalu ada ruang sosial di dalam individu kita. Jadi, masa Adven adalah saat bagi kita untuk membentuk ulang, merekonstruksi diri kita dengan mengikis egosentrisme dalam diri dan memperkuat sisi altruis kita. Konkretnya, di dalam konstruksi harapan kita, kita pun menjadi harapan bagi sesama kita.