Politik luar negeri Indonesia di awal kemerdekaan diarahkan untuk meraih pengakuan internasional atas eksistensi Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Tujuan tersebut ditempuh melalui dua cara, yakni perjuangan diplomasi dan konfrontasi/perang/gerilya. Dua jalur perjuangan ini adalah sebagai manifestasi dari perbedaan pemikiran dari para tokoh revolusi di awal kemerdekaan.

Tahun 1997, Fareed Zakaria menulis tentang demokrasi iliberal yang dipraktikkan berbagai negara demokratis di dunia. Demokrasi iliberal adalah demokrasi tanpa nilai, yang hanya dipahami sebagai prosedur elektoral. Demokrasi tersebut hanya diartikan sebagai cara untuk memperoleh legitimasi melalui pemilu. Jadi dalam demokrasi iliberal, elektoral tetap jalan, tapi tak liberal (menjunjung prinsip kebebasan individu). Menurut Marcus Mietzner, Tom Power, Eve Warburton, Ed Aspinall, hingga Tom Lindsey, pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menjalankan kekuasaannya secara iliberal sehingga terjadi regresi/penurunan kualitas demokrasi. Hal ini terjadi karena, menurut Vedi Hadiz, absennya kelompok reformis liberal, sosial demokrat, maupun 'kiri'. Yang ada hanya kelompok Islamis dan nasionalis.

Ilmu ekonomi politik membahas hubungan politik dan ekonomi, dengan tekanan pada peran kekuasaan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Maka, hubungan politik dan pembangunan terkait dengan bagaimana proses politik di sebuah negara mempengaruhi proses perencanaan dan implementasi pembangunan di negara tersebut. Ada banyak aktor dan faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam pembangunan di Indonesia. Aktor tersebut diantaranya tokoh kemerdekaan, ekonom/teknokrat, insinyur/teknolog, birokrat, militer, swasta, intelektual, pers, masyarakat sipil, kelas menengah, dsb. Sementara faktornya adalah ideologi, maupun kepentingan yang pragmatis.

Sejarah ekonomi politik Indonesia menunjukkan bahwa politik (baca: kekuasaan) adalah instrumen yang ampuh untuk mengakumulasi kapital. Ini adalah akibat dari struktur ekonomi politik yang telah terbangun sejak era rezim otoritarian Orde Baru. Ketika itu, konsentrasi kekuasaan terpusat di tangan presiden, sehingga membentuk hubungan patron-klien. Presiden (penguasa) sebagai patron dan pengusaha sebagai klien. Dalam hubungan seperti itu, pengusaha yang tumbuh adalah pengusaha yang mengakumulasi modal secara primitif, yaitu berkat kedekatan dengan penguasa. Ini membuat kapitalisme yang terbentuk di Indonesia berbeda dengan Eropa. Di Eropa, kapitalisme muncul karena pengusaha yang lahir dari revolusi industri. Di Indonesia, kapitalisme didorong oleh kekuatan luar, yakni masuknya modal dan keahlian dari luar, serta berkat proteksi pemerintah. Pasca reformasi struktur ini tidak berubah. Para pengusaha malah mampu mereorganisasi diri untuk menyusaikan dengan iklim politik yang demokratis.

Freedom House telah merilis indeks demokrasi dari 195 negara di dunia berdasarkan riset yang dilaksanakan tahun 2019 lalu. Hasilnya, dari negara-negara Muslim (negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam) yang terdapat di Sub Sahara Afrika, Timur Tengah, Arab Teluk, dan Asia Tenggara, hanya Tunisia mendapat status 'free' alias bebas. Padahal dalam satu dekade terakhir terjadi revolusi musim semi Arab dalam dua gelombang. Indonesia sendiri hanya berstatus 'partly free'. Ini memunculkan kembali perdebatan tentang hubungan Islam dengan negara dan demokrasi.

Perkembangan sosial, politik maupun ekonomi yang terjadi di Eropa, tidak terlepas dari kelahiran dan pertumbuhan kelas menengah yang menjadi penggerak perubahan. Bagaimana dengan pengalaman Indonesia? Di Indonesia, negara yang membentuk kelas menengah, sehingga memiliki karakter bergantung pada negara. Padahal kelas menengah itu dibutuhkan untuk menopang pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan meningkatkan penerimaan pajak sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi.

Politik kontemporer bukan cuma "politik tentang siapa" (negara, parlemen, parpol, masyarakat sipil, dsb), tapi juga "politik tentang apa". Politik tentang "apa" ini adalah tradisi dari kajian pasca-strukturalis, termasuk di dalamnya adalah analisis diskursus. Episode kali ini membahas teori diskursus ala Laclau & Mouffe, yang dikembangkan dari berbagai pemikiran filsuf seperti Marx, Nietszche, Freud, Gramsci, Althusser, Foucault, Saussure, Barthes, Lacan, Heidegger, Derrida, Schmidt, hingga Lefort.

Keberhasilan sebuah negara dalam mengatasi pandemi Covid-19 (Coronavirus Disease 2019) bergantung pada kepemimpinan politik yang responsif. Bila pemimpin negara mampu menunjukkan respons yang sigap dan tepat, hal tersebut bisa menjadi insentif elektoral baginya pada pemilu yang akan datang.

Hubungan antara demokrasi dan pembangunan ekonomi adalah salah satu fokus dalam kajian ekonomi politik. Salah satu teori yang menjelaskan hubungan tersebut adalah teori modernisasi. Di episode ini, kita akan membahas teori modernisasi mulai dari Lipset, Huntington, Diamond, Przeworski, hingga Sen dan Acemoglu, serta penerapannya di Indonesia.

Pada episode kali ini kita akan membahas kekuatan-kekuatan politik di tingkat lokal, mulai dari konteks struktural kemunculannya, karakter rezim yang menghasilkannya dan peran mereka sebagai kekuatan politik.