Kamu mungkin tidak sadar seberapa sering kamu menggunakan perasaan kamu dalam bertindak. Perasaan tidak hanya digunakan untuk menilai informasi yang diterima, tetapi sering juga untuk berasumsi menggantikan informasi yang tidak tersedia. Sayangnya hal tersebut bisa berbahaya dan merugikan, dengan menyadari berbedaan pandangan berdasarkan pikiran dan perasaan, diharapkan tindakanmu bisa lebih bijak selanjutnya.

Ketidaksetaraan gender adalah hal yang sangat umum didengar, dampaknya pun sangat jelas. Anehnya, tidak ada yang benar-benar tahu asal terjadinya hal tersebut. Sadar atau tidak, ketidaksempurnaan pengetahuan kita akan hal ini membuat kejadian sekitar menjadi membingungkan. Apa sajakah kejadian itu?

Perundungan bisa terjadi dalam bentuk apapun, mungkin yang paling mudah dan sering kita temui adalah body shaming. Apakah hal ini bisa terjadi atas dasar kepedulian terhadap si korban, atau ketidakmampuan dalam menahan ego? Mungkin kepedulian adalah atas dasar standar kesehatan, tapi sejauh mana pelaku mengetahui standard sehat? Atau mereka yang atas dasar beauty standard, apakah relevan untuk mengeluarkan subjektivitas pada tempat yang tidak tepat?

Berbagai teori mengatakan korupsi bisa timbul karena adanya keserakahan dan kesempatan. Bukankah serakah bahasa halusnya adalah memaksimalkan keuntungan dan itu dilakukan semua manusia? Dan begitu pun dengan mencari kesempatan? Jika ciri-ciri korupsi ternyata adalah sifat dasar manusia, apakah korupsi tidak terhindarkan? Mungkin tanpa sadar kita juga telah melewatkan korupsi-korupsi kecil setiap harinya. Jangankan yang kecil, korupsi besar pun nampaknya tidak begitu menyita perhatian kita, hanya selama berita menyiarkannya demi rating mereka.

Pada akhir Juni,  BEM UI mengkritik presiden Jokowi dengan label "lip service". Tidak seperti kritikan lain yang menuai pro-kontra, kritikan kali ini sepertinya disetujui hampir semua pihak (kecuali pihak pemerintah), karena memiliki sumber yang jelas. Seolah masyarakat sepakat bahwa lip service dari pememimpin bangsa adalah hal yang buruk. Tapi... kenapa sering kali kita terjebak dan terlena pada lip service?

Kenapa bisa hal yang positif menjadi racun? Apakah ini hal yang baru muncul sekarang, atau memang sekarang baru disadari? Selain mnegulas buruknya dibalik sikap positif, pada podcast kali ini kami juga membahas pentingnya perasaan dan emosi buruk yang kita rasakan. 

Menjadi gambaran umum bahwa mengeluh itu buruk, tetapi banyak keadaan yang membuat kita merasa mengeluh tidak bisa dihindari dan dibutuhkan. 

Tentu kamu sangat mungkin kesal ketika ada orang sekitarmu suka mengeluh, tetapi ada beberapa orang yang justru kamu pedulikan ketika mengeluh.

Realistis saja, rasanya mengeluh memiliki beberapa kebaikan, tetapi saja saja batasannya?

Masalah sering kali disikapi dengan kesan yang melekat pada masalah tersebut, sehingga masalah tersebut hanya akan dipermasalahkan atau dilupakan, bukan diselesaikan. Jika kesan yang menempel pada masalah tersebut itu buruk, manusia akan mempermasalahkan, seperti mengapa bisa salah, siapa yang disalahkan, dan lainnya. Jika kesan yang menempel itu baik, tentu orang akan berfokus pada hal baiknya saja, dan masalah dibaliknya sering kali menjadi tidak terlihat.

Bias sering kali indentik dengan tindakan yang tidak sesuai pikiran dan didorong oleh perasaan, dengan begitu bisa sering diidentikan dengan kesan yang buruk. Pada episode kali ini kami membahas bahwa bias tidak melulu tentang keburukan, banyak hal luar biasa bagus yang tercipta kibat bias dan ternyata bisa tidak melulu sebuah tindakan akibat perasaan, tetapi bisa juga tertanam oleh otak. Dengan mengatahui bias-bias yang ada, kita bisa lebih objektif dalam bertindak tanpa terpengaruh bagaimana suatu fakta dikemas, tetapi kita bisa melihat sesuatu sesuai apa yang kita butuh.

Sebuah cerita yang unik, pasti akan membekas pada para pendengarnya. Jangankan cerita unik atau penting, "cerita" (story) tidak penting saja pada media sosial, memiliki penikmatnya sendiri. Pada hakikatnya cerita adalah hal yang sangat vital pada kehidupan manusia. Entah itu inti ceritanya sendiri, atau cara mereka bercertia sesuai dengan perspektifnya. Mungkin juga, perspektif itu sendiri menjadi cerita sendiri. Karena cerita, besar atau tidak, berguna untuk menyambungkan antara cerita-ceirta lainnya. Dan sering kali, bisa menjadi pelajaran bagi banyak orang.