"Semua akan mencari ketika suatu apapun dari hal tersebut sudah hilang, maka terkikislah hal-hal baik di depan kita".
Jauh sebelum kita membicarakan konteks kebudayaan atau memperdebatkannya. Mari mengingat memori kolektif kita tentang hal kecil yang mendasari segala perilaku besar.
Negara kita terkenal sebagai negara yang masyarakatnya sangat ramah, terlebih kepada sesama bangsanya maupun bangsa lain. Selain kekayaan alamnya yang mampu memikat para wisatawan asing keberadaan masyarakatnya pun menjadi poin penting.
Di tatar sunda, istilah "punten-mangga" sudah tak asing lagi di telinga, atau mungkin sudah tak lagi menjadi hal yang wah. Bagaimana tidak, setiap perilaku yang dijalani setiap harinya pasti melulu menuturkan kata punten.
Suatu ungkapan yang begitu kaya makna, fleksibel dan kondisional, untuk salam sapa, meminta tolong, dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Dan ya, tanpa kita sadari hal tersebut membentuk suatu karakter yang di mana sudah tertanam sedari awal. Di rumah, di sekolah, di lingkungan bermain, di tempat kerja, di tempat umum yang lainnya, sikap itu yang membentuk kita. Seorang manusia yang memiliki tatakrama.
Namun, akhir-akhir ini hal-hal demikian sudah asing ditelinga kita, percaya atau tidak hari ini budaya permisi atau punten sudah dianggap kuno hari ini, walaupun beberapa masih mempertahankan budaya tersebut.
Oh ya, jadi siapa yang musti disalahkan? Perkembangan jaman atau diri kita sendiri?
Kalo aku sih, yes!