(Taiwan, ROC) --- Isu kekerasan terhadap anak belakangan ini menjadi topik yang luas dibahas, terutama setelah adanya laporan anak dari warga asing yang diduga mengalami perlakuan tidak tepat.
Masyarakat juga memperhatikan kesulitan yang dihadapi oleh pekerja migran yang hamil, merawat anak-anak mereka, dan masalah bayi tanpa kewarganegaraan.
Wartawan mencoba mewawancarai pekerja migran, kelompok masyarakat sipil, dan pembuat film dokumenter yang telah merekam kehidupan pekerja migran hamil dan anak-anak mereka, untuk mengeksplorasi situasi pekerja migran serta risiko anak-anak pekerja migran mengalami kekerasan anak.
Pekerja Migran di Taiwan Menghadapi Kesulitan dalam Merawat Anak
Baru-baru ini, seorang balita berusia 1 tahun yang menunggu untuk diadopsi, diduga menjadi korban kekerasan dari pengasuh harian yang menyebabkan kematian, yang kemudian memicu kemarahan masyarakat.
Selanjutnya, Dinas Sosial Pemerintah Kota Taipei menerima dua kasus dugaan kekerasan anak yang signifikan pada tanggal 16 Maret 2024 lalu, keduanya melibatkan anak-anak dari warga asing, di mana salah satu kasus mengakibatkan kematian.
Berita tersebut kembali menimbulkan kegaduhan besar.
Menanggapi hal ini, Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan (MOHW), pada tanggal 17 Maret 2024 mengeluarkan siaran pers, menyatakan bahwa Dinas Sosial Kota Taipei harus menyelidiki apakah ada fakta yang menunjukkan perlakuan tidak tepat pada kasus tersebut, dan mengeluarkan laporan penyelidikan, mengadakan rapat tinjauan kasus lintas biro, kemudian melaporkan hasil tinjauan kepada MOHW.
Menteri Ketenagakerjaan Hsu Ming-chun (許銘春), pada tanggal 20 Maret 2024, mengatakan bahwa dua anak yang diduga mengalami kekerasan anak adalah anak dari seorang siswa dari Swaziland dan anak dari pekerja migran yang hilang kontak (ilegal).
Apakah risiko anak-anak pekerja migran mengalami kekerasan lebih besar daripada anak-anak Taiwan? Direktur Garden of Hope Foundation, Lee Kai-li (李凱莉) mengatakan bahwa sebenarnya, anggaran perawatan anak pekerja migran umumnya tidak cukup untuk menyewa pengasuh anak legal di Taiwan.
Ditambah dengan waktu libur yang sedikit, jika mereka tidak sering mengunjungi anak-anak, maka akan sulit untuk memantau kualitas perawatan, sehingga anak-anak pekerja migran mengalami kekerasan lebih sering daripada yang diperkirakan.
Lee Kai-li mengatakan: "Jika Anda ingin memberikan perawatan yang baik, ada beberapa prasyarat. Pertama, Anda harus membayar cukup! Tidak bisa terlalu jauh dari harga perawatan anak pada umumnya. Kedua, Anda harus secara rutin mengunjungi anak, memastikan lingkungan, dan sering berkomunikasi dengan pengasuh. Anda tidak bisa hanya meninggalkannya dan sepenuhnya mempercayainya. Sebenarnya, kami berkomunikasi ini dengan pekerja migran, dan Anda (pekerja migran) harus memiliki rencana jangka panjang karena jujur saja, meskipun biaya pengasuh rendah, bahkan sebulan NT$12.000 atau NT$13.000, tapi bagi pekerja migran, dua pertiga atau tiga perempat gajinya semua diberikan ke pengasuh, ini memberikan tekanan besar bagi mereka."
Dilema Pekerja Migran Taiwan: Merawat Anak dengan Risiko atau Berpisah?
Dengan dukungan dana dari Kementerian Ketenagakerjaan (MOL), Pemerintah Kota Taoyuan menggandeng Yayasan Garden of Hope untuk mengoperasikan "Pusat Layanan Konsultasi bagi Wanita dan Anak Asing", yang menyediakan layanan konsultasi hukum, rujukan, penilaian kasus, dan penempatan untuk pekerja migran hamil di seluruh negara serta majikan dan agen mereka.
Lee Kai-li menyatakan, sejak pusat layanan diresmikan pada akhir Desember 2021, dalam dua tahun telah melayani lebih dari 600 orang, menerima lebih dari 3.800 panggilan konsultasi.
Selain itu, setelah fasilitas perawatan ibu dan bayi di pusat penempatan pekerja migran Garden of Hope ditingkatkan pada Agustus 2022, juga mulai menyediakan layanan penempatan untuk pekerja migran hamil, hingga akhir tahun lalu, telah menempatkan 19 pekerja migran untuk menunggu kelahiran mereka.
Lee Kai-li menunjukkan, berdasarkan pengalaman layanan Garden of Hope, berita tentang anak-anak pekerja migran yang mengalami kekerasan anak atau kelalaian dalam perawatan telah lama beredar di komunitas pekerja migran.
Namun, biaya pengasuh anak penuh waktu selama 24 jam, yang berkisar antara NT$ 27.000 hingga lebih dari NT$ 30.000 per bulan, belum termasuk biaya susu formula dan popok, benar-benar di luar kemampuan pekerja migran, sehingga mereka terpaksa mengambil risiko dan mencari pengasuh dari jalur yang tidak resmi.
Lee Kai-li mengatakan, "Tentu ada! Bukan hanya kekerasan, tapi kelalaian dalam perawatan. Misalnya, mata (anak-anak) menjadi kosong, karena mereka melahirkan di sini! Jadi kira-kira sudah dirawat selama dua bulan, (anak-anak) gemuk dan cerdas, semua orang bisa melihatnya. Lalu bagaimana (anak-anak) setelah dirawat di tempat lain selama dua minggu atau sebulan, mata mereka menjadi kosong, mereka menjadi kurus, sering sakit? Hal ini juga dapat dilihat oleh saudara-saudari yang tinggal bersama, sehingga mereka juga merasa takut."
Lee Kai-li menyatakan, banyak pekerja migran setelah berpikir panjang akhirnya memilih untuk membawa anak mereka kembali ke negara asal untuk dirawat oleh keluarga, kemudian kembali bekerja di Taiwan, atau bahkan memutuskan untuk tinggal di negara asal dan merawat anak mereka sendiri, sembari menunggu sampai anak tumbuh lebih besar sebelum bekerja kembali ke luar negeri.
Hazel, seorang pekerja perawatan keluarga, adalah salah satu contohnya. Dia melahirkan seorang bayi laki-laki pada Desember tahun lalu, dan pada Maret tahun ini membawa anaknya kembali ke Filipina, dengan rencana untuk kembali ke Taiwan setelah satu minggu.
Faktor Struktural Menyebabkan Pekerja Migran Hilang Kontak, Anak-anak Tanpa Dokumen Terbatas Akses dan Kesulitan Mencari Bantuan
Sebelum berangkat dengan pesawat, Hazel sempat diwawancarai oleh Radio Taiwan International dan menyatakan bahwa perawat rumah tangga hamil memiliki situasi yang sangat berbeda dengan pekerja pabrik.
Selain tidak dapat menikmati manfaat seperti cuti hamil berbayar, mereka juga tidak dapat menerima manfaat kelahiran karena tidak terdaftar dalam asuransi tenaga kerja.
Keputusan Hazel untuk mengirim anaknya kembali ke negara asal terutama karena tidak mampu membayar biaya penitipan anak dan suasana sosial di Taiwan yang tidak ramah.
Hazel mengatakan, "Sebenarnya, saya akan kembali ke negara saya besok. Saya harus membawanya (anak laki-laki) pulang karena saya pikir, tidak semua majikan dapat menerima karyawan yang memiliki anak. Bagi mereka, itu akan menjadi 'masalah'. Mereka berpikir bahwa merawat nenek atau kakek sekaligus merawat anak akan menimbulkan masalah."
Hazel mengakui bahwa sebelum bayi laki-laki ini lahir, dia sudah merupakan ibu dari tiga anak. Menghadapi kedatangan anak ini yang tak terduga, awalnya dia merasa cemas, tegang, dan bingung, bahkan sempat mempertimbangkan aborsi, tetapi ayah bayi laki-laki ingin anak itu dilahirkan.
Meski akhirnya Hazel dipecat secara sepihak oleh majikannya, tetapi dia berusaha mencari sumber daya untuk dirinya sendiri, mencari bantuan dari organisasi masyarakat sipil, sehingga dia bisa melahirkan dengan aman dan masih memiliki hak untuk bekerja secara legal di Taiwan.
Namun, banyak pekerja migran hamil mengalami diskriminasi, bahkan dipecat oleh majikan mereka atau dipaksa oleh agen untuk kembali ke negara asal, sebuah situasi yang terus berlangsung. Kebijakan pemerintah yang tidak jelas sering membuat pekerja migran menyembunyikan kehamilan mereka hingga detik terakhir, bahkan lebih memilih menjadi pekerja migran yang hilang kontak daripada mengungkapkan kondisi mereka.
Bagaimana pekerja migran yang hilang kontak menyelesaikan masalah melahirkan, merawat anak, penitipan anak, pendidikan atau perawatan medis?
Sutradara Taiwan, Tsai Chia-hsuan (蔡佳璇), pernah merekam kisah pendiri Garden of Hope, Yang Chieh-yu (楊婕妤), yang membantu wanita pekerja migran dan anak-anak mereka melalui film pendek "Mimi’s Utopia 有時Mama,有時Mimi ".
Tsai Chia-hsuan menyatakan bahwa pekerja migran hamil yang hilang kontak bergantung pada diri mereka sendiri atau organisasi masyarakat sipil, tetapi organisasi masyarakat sipil, berada di antara hitam dan putih, memberikan bantuan dalam situasi yang sulit, tidak hanya peran mereka yang sulit, tetapi sumber dayanya mungkin tidak cukup.
Selain itu, jika anak-anak pekerja migran yang hilang kontak mengalami penyakit serius atau cedera serius, maka mereka mungkin juga kesulitan mencari bantuan medis.
Tsai Chia-hsuan mengatakan, "Saya pikir, karena masyarakat kita membutuhkan pekerja migran, dan itu tidak dapat dihindari, kemudian pekerja migran datang ke Taiwan di usia produktif, ingin mendirikan keluarga, dan memiliki anak, situasi ini juga tidak dapat dihindari. Maka kita harus lebih memperhatikan kehidupan pekerja migran setelah mereka tiba di Taiwan, beserta generasi berikutnya. Jadi, mungkin kita masih membutuhkan pemerintah untuk menetapkan sistem dan arahan yang lebih jelas."
Tsai Chia-hsuan secara terbuka mengungkapkan kekhawatirannya bahwa saat pemerintah berusaha meningkatkan hak-hak anak pekerja migran, masyarakat Taiwan mungkin mulai membedakan "kami" dan "mereka", sehingga sulit menerima penggunaan sumber daya Taiwan untuk membantu anak-anak dari negara lain.
Namun, ia menekankan jika masyarakat hanya melihat pekerja migran yang hilang kontak sebagai pelanggar hukum, mereka mungkin tidak melihat keseluruhan situasi dan konteksnya.
Menurutnya, keberadaan pekerja migran yang hilang kontak memiliki faktor struktural yang mendasarinya, dan ini memerlukan perhatian serta pemahaman dari masyarakat luas.