Sejak masa paling awal agrikultur, kecemasan
tentang masa depan menjadi pemain utama dalam teater pikiran
manusia. Sampai dengan era modern
belakangan, lebih dari 90 persen manusia adalah petani yang
bangun tidur pada pagi hari untuk mengolah tanah dengan
keringat dari kening mereka. Lebihan hasil produksi mereka
menghidupi minoritas elite—raja, pejabat pemerintah, tentara,
pendeta, artis, dan pemikir—yang mengisi buku-buku sejarah. Ketika Revolusi Agrikultur membuka peluang-peluang
terciptanya kota-kota padat dan imperium-imperium besar, orang
menemukan cerita-cerita tentang dewa-dewa besar, tanah air
dan perusahaan-perusahaan saham gabungan untuk memenuhi
hubungan-hubungan sosial yang dibutuhkan. Sementara evolusi
manusia merangkak sebagaimana biasa dalam kecepatan bekicot. Kita memercayai suatu tatanan
tertentu bukan karena secara objektif benar, melainkan karena
memercayainya memungkinkan kita bekerja sama secara efektif
dan membangun masyarakat yang lebih baik. Tatanan yang
diimajinasikan bukanlah konspirasi jahat atau fatamorgana yang
sia-sia, melainkan itulah satu-satunya cara manusia dalam jumlah
besar bisa bekerja sama secara efektif. Ilmu kemanusiaan dan sosial mengerahkan sebagian besar
energinya untuk menjelaskan secara tepat bagaimana tatanan
yang diimajinasikan itu dijalin menjadi permadani kehidupan. Tidak ada jalan untuk membebaskan diri dari tatanan yang
diimajinasikan. Ketika kita menghancurkan penjara kita, dan
berlari menuju kebebasan, kita sesungguhnya berlari menuju
halaman yang lebih luas dari penjara yang lebih besar.