Lebih Bersungguh-sungguh Di 10 malam terakhir
Telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnu Ubaid bin Nisthasin, yaitu Abu Ya’fur, dari Muslim, dari Masyruq, dari Aisyah, pernah bercerita mengenai Nabi Shallallahu’alaihi wa salam: “Bila telah memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan beliau selalu bangun malam dan membangunkan keluarganya, dan mengencangkan sarungnya”. Sufyan berkata: “Pada satu malam dari sepuluh hari terakhir tersebut beliau bersungguh-sungguh (dalam beribadah)”. (HR. Ahmad no. 23001).
Untuk mendapatkan suatu yang bernilai besar, tentu harus dengan usaha yang besar pula. Lailatul Qadar itu malam besar, malam istimewa dan malam luar biasa. Para Malaikat turun ke bumi berdesakkan pada malam itu dengan jumlah yang sangat banyak laksana sejumlah kerikil yang ada di planet bumi yang kita pijak ini. Sepanjang malam sampai Shubuh, para Malaikat tidak henti mendoakan para hamba Allah yang sedang beribadah. Ma sya Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah pasti masuk surga saja begitu keras usahanya untuk memperoleh Lailatul Qadar. Beliau juga membangunkan keluarganya agar turut serta beribadah di malam itu. Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja begitu, apalagi kita yang belum dipastikan masuk surga!
Mungkin tidak sedikit yang beranggapan bahwa satu-satunya cara untuk memperoleh Lailatul Qadar hanya dengan i’tikaf di masjid, selainnya tidak bisa. Sebenarnya tidaklah begitu. Jika i’tikaf di masjid adalah satu-satunya cara, lalu bagaimana dengan wanita haidh, nifas, security yang piket malam, supir bus malam, orang yang sedang musafir atau mudik yang tidak biasa ke masjid? Apakah mereka tidak bisa mendapatkan malam mulia itu hanya karena tidak i’tikaf di masjid? Apakah malam teramat mulia itu hanya khusus bagi mereka yang mempunyai banyak waktu luang sehingga bisa i’tikaf di masjid?
Kenyataannya tidaklah begitu. Lailatul Qadar diperoleh oleh hamba-hamba Allah yang banyak beribadah di malam itu. Ibadah bukan hanya i’tikaf. Dengan memperbanyak membaca Al-Qur’an atau setidaknya memperbanyak dzikir atau shalawat, bisa saja mendapatkan Lailatul Qadar. Piket malam bisa sambil dzikir. Menyetir bus atau mobil bisa sambil shalawatan kan? Sambil jaga warung kopi juga bisa sambil tasbih, kan? Pokoknya asal bisa ibadah, tidak harus di masjid. Apakah harus begadang full? Tidak juga. Buktinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagun pada malam hari dan membangunkan keluarga. Namanya bangun sudah pasti tidur dulu sebelumnya.
Tidak ada alasan untuk tidak bisa memperoleh malam indah itu kecuali malas! Takut masuk neraka tapi ibadah malas.
al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata,
« يا من ضاع عمره في لا شيء، استدرك ما فاتك في ليلة القدر فإنها تُحسب بالعمر. »
"Duhai insan yang usianya berlalu dalam hal yg tidak bermanfaat, perbaikilah potret kelam hidupmu pada Lailatul Qadar. Karena beribadah di satu malam itu sama artinya (beribadah) seumur hidup."
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Sulaiman al-Dhuba’i, dari Kahmas bin al-Hasan, dari Abdullah bin Buraidah, dari Aisyah, ia berkata: Wahai Rasulullah, apabila aku mengetahui malam apa lailatul qadr itu, maka apakah yang aku ucapkan padanya? Beliau mengatakan:
“Ucapkan: ALLAAHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN KARIIMUN TUHIBBUL ‘AFWA FA’FU ‘ANNII (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi Maaf dan Maha Pemurah, Engkau senang memaafkan, maka maafkanlah aku).
Abu Isa berkata: Hadits ini adalah hadits hasan shahih. (HR. Tirmidzi no. 3435).
Untaian do’a yang begitu indah walaupun singkat. Do’a merupakan harapan seorang hamba yang begitu tulus agar Allah mengijabah. Do’a yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu sarat makna dan menggetarkan jiwa. Betapa tidak, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita agar meminta ampunan dengan memuji Allah terlebih dahulu dengan menyebut nama-Nya, Al-Afuw (Yang Maha Pemaaf).