一輩子太長了Seumur hidup itu terlalu panjang
Selamat datang di acara Jurnal Maria Sukamto麗亞週記, apa kabar para JM lovers para Jmers? Semoga sehat sejahtera selalu jiwa dan raga. hari ini saya mengajak Anda baca buku, sebuah buku kehidupan, artikel yang saya baca di laman FB seorang penulis, Berjudul 「一輩子太長了」"Seumur hidup itu terlalu panjang." Yang sangat penginspirasi. Dan cocok sekali dengan keadaan zaman sekarang. Mari kita simak.
Saat bercerai, ibu berkata satu kalimat, "Seumur hidup itu terlalu panjang."
Orang tua saya bercerai hanya karena ayah sering membuang abu rokok ke pot anggrek yang dirawat ibu. Ibu saya adalah tipe wanita yang bahkan saat turun ke bawah untuk membuang sampah pun harus berpakaian rapi.
Ketika saya berusia 12 tahun, ibu dan ayah bercerai,
hanya karena ayah terus-menerus membuang abu dan puntung rokok ke pot anggrek ibu, meskipun sudah berkali-kali diperingatkan.
Saat keluarga dan teman mencoba menasihati ibu,
dia hanya menjawab, "Dia orang yang baik, hanya saja kami tidak cocok."
Nenek saya dengan marah memarahi ibu,
"Kamu terlalu banyak membaca buku, makanya terlalu banyak maunya."
Di mata nenek, menantunya tinggi, tampan, pandai mencari uang, berbakti, dan peduli keluarga.
Sebaliknya, nenek menganggap putrinya egois dan tidak memikirkan perasaan anak maupun orang tua.
Nenek tidak bisa memahami keluhan ibu tentang kebiasaan ayah yang jarang mandi,
membuang pakaian dan kaus kaki sembarangan, makan dengan tergesa-gesa,
tidak punya waktu untuk ibu, lupa hari ulang tahun atau hari peringatan.
"Bukankah semua laki-laki seperti itu?" kata nenek.
Saya masih ingat saat ibu membawa saya meninggalkan rumah kami,
air mata mengalir di pipinya, dan dia berkata,
"Aku harap kamu bisa mengerti, hidup itu terlalu panjang."
Ketika saya berusia 16 tahun, seorang ayah tiri muncul dalam hidup kami.
Dia tidak tinggi, wajahnya biasa saja,
tetapi dia selalu terlihat bersih dan segar, dengan senyum yang lembut.
Anehnya, saya tidak merasa menolaknya.
Dia membantu ibu mengganti pot bunga dengan yang lebih indah,
membeli piring dan sendok baru untuk dipadankan dengan taplak meja hijau pastel ibu,
memilihkan sepatu kulit warna krem untuk gaun merah ibu,
dan mengganti gantungan kunci saya dengan yang lebih cantik.
Dia menggandeng tangan ibu berjalan di tepi sungai,
menikmati matahari terbenam dan terbit bersama, pergi ke taman lahan basah untuk memotret bunga dan burung,
memberitahu ibu nama dan cerita setiap tanaman,
bahkan membawa pulang beberapa ranting pohon yang jatuh,
dan menatanya di vas antik di meja belajar saya.
Ibu sangat suka mencoba resep baru.
Setiap kali ibu dengan bangga memperkenalkan hidangan baru,
ayah tiri saya akan mengajak saya mencuci mulut, berpakaian rapi,
dan duduk dengan sopan di meja makan.
Dengan gaya seorang kritikus kuliner,
dia mulai memberikan komentar dari aspek warna, aroma, dan rasa,
membuat ibu tertawa terbahak-bahak.
Ayah tiri juga seorang pecinta perayaan.
Dia berkata, "Hidup harus ada hari-hari istimewa, sehingga waktu terasa berlapis-lapis."
Setiap perayaan punya hadiah dan cara perayaan berbeda.
Dia sering membawa saya dan ibu ke alam untuk merasakan pergantian musim.
Suatu kali, ketika ibu sakit dan dirawat di rumah sakit,
saya melihat di meja samping tempat tidur ibu ada seikat bunga lili,
buah-buahan yang sudah dipotong kecil-kecil dan disimpan dalam mangkuk keramik hijau pastel.
Ayah tiri duduk di samping tempat tidur,
membacakan buku untuk ibu tanpa peduli pada orang-orang di sekitarnya.
Bibi di ranjang sebelah melirik mereka dengan rasa iri.
Saat itu, hidung saya terasa perih, dan saya tiba-tiba mengerti apa maksud ibu saat berkata,
"Hidup itu terlalu panjang."
Memang benar, hidup terlalu panjang untuk dijalani dengan terpaksa.
Jika seseorang bersama orang lain hanya untuk bertahan hidup,
tanpa perayaan, tanpa kejutan, tanpa kebahagiaan, tanpa romantisme,
bukankah itu hanya sekadar hidup bersama?
Sungguh cerita yang mengharukan.
Hidup memang panjang, dan membutuhkan saling dukung, perhatian, serta menciptakan kebahagiaan untuk melewati segalanya.
Cerita ini menggambarkan perjalanan hidup seorang wanita yang memilih untuk mengakhiri pernikahannya karena merasa tidak cocok dengan suaminya, meskipun dianggap egois oleh keluarganya. Keputusan itu didasarkan pada keyakinannya bahwa hidup terlalu panjang untuk dijalani dengan terpaksa. Dalam perjalanannya, ia menemukan pasangan baru yang mampu memahami, menghargai, dan menciptakan kebahagiaan kecil dalam hidup sehari-hari. Kehadiran ayah tiri ini membawa makna baru bagi kehidupan ibu dan anaknya, menunjukkan bahwa hubungan yang harmonis memerlukan perhatian, pengertian, dan usaha untuk menciptakan momen-momen istimewa.
Hidup Terlalu Berharga untuk Bertahan dalam Ketidakbahagiaan:
Cerita ini mengajarkan bahwa hidup yang panjang seharusnya diisi dengan kebahagiaan dan kepedulian, bukan keterpaksaan atau kompromi tanpa akhir.
Kebahagiaan Ada di Hal-Hal Kecil:
Melalui perhatian sederhana seperti mengganti pot bunga atau menciptakan perayaan kecil, pasangan baru menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak harus datang dari hal besar, melainkan dari tindakan kecil yang penuh cinta.
Pengertian dan Keharmonisan adalah Kunci Hubungan:
Perbedaan kebiasaan dan kurangnya perhatian dalam hubungan pertama menjadi pelajaran bahwa pengertian, perhatian, dan usaha untuk saling membahagiakan adalah fondasi hubungan yang baik.
Berani Memilih Kebahagiaan:
Keputusan ibu untuk meninggalkan hubungan yang tidak membuatnya bahagia menunjukkan keberanian untuk mengejar kehidupan yang lebih baik, meskipun harus menghadapi penilaian negatif dari orang lain.
Romantisme dan Kebersamaan Memberikan Arti dalam Hidup:
Kehadiran ayah tiri membawa warna baru dalam hidup ibu dan anaknya, menekankan pentingnya romantisme, perayaan, dan kebersamaan untuk menikmati perjalanan hidup.
Cerita ini menginspirasi kita untuk tidak takut membuat keputusan sulit demi kebahagiaan, serta pentingnya menciptakan kehidupan yang bermakna bersama orang-orang yang kita cintai.