Kita sering kali merasa bingung dan ragu ketika Tuhan seakan-akan membuat kita di pihak yang kalah. Ketika kita dijahati orang, dimusuhi orang, ditindas, direndahkan, dikhianati, difitnah, lalu Tuhan membiarkan keadaan itu dalam beberapa waktu. Kita tidak melihat cahaya pertolongan Tuhan, kita tidak melihat pintu yang terbuka dimana kita dapat meloloskan diri. Kita seakan-akan dipojokkan di satu situasi di mana kita seperti dieksekusi atau dihukum mati. Kita bingung, mengapa demikian? Pasti kita pernah mengalami ini, atau jangan-jangan sekarang sedang mengalami hal ini.
Hal seperti ini bukan hal yang luar biasa dalam kehidupan orang Kristen. Itu hal yang bisa terjadi, dan itu bagian hidup kita yang tidak terpisahkan. Tuhan Yesus mengatakan kalau kita memanggil Dia ‘Tuhan’ dan ‘Guru,’ maka kita juga mengalami apa yang Dia alami. Dan tentu kita juga harus melakukan apa yang Ia lakukan. Mungkin kita seorang pegawai yang ditindas, ditekan oleh atasan, dan diperlakukan tidak adil oleh rekan kerja. Kita mungkin seorang menantu yang ditindas, ditekan, dianiaya oleh mertua. Atau bahkan mungkin pasangan kita sendiri yang sekarang sedang melakukan penganiayaan kepadamu. Baik penganiayaan fisik, maupun verbal. Dengan ucapan-ucapan, menekan dan menyakiti hati kita.
Hal itu sangat bisa terjadi di dalam hidup kita. Jadi, jangan kita heran akan hal-hal tersebut. Mungkin kita seorang pendeta atau hamba Tuhan yang ditekan oleh pimpinan di atas. Atau kita sedang disakiti oleh anak-anak rohani atau orang-orang yang pernah kita bimbing dan pimpin. Dan keadaan itu seakan-akan dibiarkan Tuhan.
Kita melihat kenyataan yang dihadapi oleh Tuhan Yesus. Pada waktu Ia ada di dalam penderitaan, sejak keluar dari Taman Getsemani, Ia diseret oleh pemuka-pemuka agama Yahudi dan penguasa Roma. Ia dianiaya, disiksa, direndahkan, dihina, sampai Dia disalib. Ketika di salib, Tuhan Yesus mengucapkan kalimat yang menunjukkan bahwa benar-benar Ia merasa ditinggalkan. Ia berkata kepada Bapa di surga, “Eloi, Eloi, lama sabachthani; Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
Jika kita dalam keadaan seperti ini, satu kalimat yang harus kita dengar dari Tuhan: jangan mencurigai Allah. Tuhan seakan-akan berkata, “Jangan mencurigai Aku. Tetaplah percaya.” Justru situasi-situasi semacam itulah sebagai ujian apakah kita memercayai Dia, sebab kalau keadaan serba enak, menyenangkan, tidak ada situasi-situasi seperti itu, iman kita tidak teruji. Iman kita tidak menjadi berkualitas. Tetapi ketika kita di dalam situasi yang terpuruk, tertindas, dan seakan-akan Tuhan tidak di pihak kita, kita tetap memercayai Allah, kita tidak menaruh curiga kepada Allah, di situlah iman kita murni. Kepercayaan kita kepada Tuhan itu tulus, dan itu sikap memuja Allah. Memuja yang berkualitas, mengasihi yang berkualitas.
Dan kalau kita tetap hidup dalam kesucian, dalam kekudusan, dan ketaatan, itu ketaatan yang unconditional; ketaatan yang tidak bersyarat. Orang-orang Kristen seperti ini atau orang-orang percaya seperti ini adalah orang-orang percaya yang benar-benar pantas menjadi kekasih Tuhan. Bersyukur kalau kita dibawa ke dalam situasi seperti itu. Berarti kita istimewa di mata Allah, karena kita teruji dan mau ditingkatkan kualitas imannya.
1 Petrus 1 mengatakan, “Yaitu kamu yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu, sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir. Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurniaan imanmu yang jauh lebih tinggi nilainya daripada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api. Sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.”
Jadi kalau kita diizinkan Tuhan dalam situasi terpuruk, tertindas, terpojokkan, teraniaya, dan Tuhan seakan-akan tidak di pihak kita,