- Podcast ini menggunakan Buzzsprout dan tim Buzzsprout menunjukkan betapa mudahnya menjadi seorang podcaster. Tekan link di bawah ini dan jangan lewatkan pengalaman berharga ini , untuk memperdengarkan suara Anda pada dunia!
- https://www.buzzsprout.com/?referrer_id=1783054
Sahabat Penyembuh Jiwa,
Hari ini saya memilihkan bagi kita sebuah bacaan karya Eka Kurniawan. Seorang seniman tulis milenial. Tulisannya mengandung banyak metafora indah yang saya sukai. Membaca prosa Eka, saya justru bagai diayun oleh puisi. Saya pikir, disitulah keunikan tulisan Eka ini sehingga menyembuhkan saya. Eka menulis hal poligami yang diselubungi dengan politik racun di dalamnya. Saya pikir, seperti mendengar tulisan Dea Anugrah, kita juga diajak untuk menjadi cerdas menebak apa sebenarnya yang terjadi di dalam lekak-lekuk bahasa yang disajikan Eka. Selamat mendengarkan!
Sejenak lalu, perempuan manis berlesung pipit menggigil sempurna dirontokkan malam. Kini ia menyungging senyum, lesung pipit itu bertambah-tambah dalam jadinya, sembari membuntal pakaian. Sejenak lalu ia pengantin baru, gemeletuk, pasi, dan sekarat. Kini ia janda muda yang bahagia.
Ada di dengarnya suara langkah lelaki itu di balik pintu, keplak-keplak, tak sabar. Ada dikenangnya lelaki itu menelanjanginya sebelum menelanjangi diri sendiri, sejenak lalu. Si lesung pipit beku sementara lelaki itu terbakar. Ganas si lesung pipit ditikam, sebelum si lelaki mengisut sebentar. Tak lama, tetapi cukup bagi si lesung pipit bertanya tanpa suara, Mengapa? Terlampau mudah, Tuan? Jawaban si lelaki adalah percintaan yang bergegas, membikin ranjang berderak serupa pelepah kelapa dihantam badai. Lalu adalah waktu bagi keduanya tergolek, banjir keringat dan napas satu-satu.
Si lelaki masih terbakar, bukan sebab berahi, tetapi amarah. Ia lemparkan selimut ke atas tubuh si lesung pipit, turun dari tempat tidur dan mengenakan kolornya. Tanpa sudi memberi pandang ia mengumpat sebelum mengakhiri segala ikatan di antara mereka dan keluar kamar pengantin membanting pintu, “Sundal!”
PEREMPUAN itu dan kedua bocah penuh ingusnya menatap mereka dengan pandangan bengis, saat penghulu menjeratkan nasib si lesung pipit pada lelaki itu. Si lesung pipit tak kuasa menentang tatap kedengkian tersebut, tercebur dalam riuh pesta perkawinan, serasa hilang nyawa berkali-kali.
Ia hampir limbung waktu orang-orang berleret menyalami mereka, menjebloskan amplop putih bergaris tepi warna merah-biru ke dalam kotak. Setiap persentuhan telapak tangan memberinya hawa dingin yang mengapungkan, sekali-kali membuatnya hilang ingatan, dan setiap cium pipi dari para perempuan memberinya gejolak liar yang mengempas-empas tatapannya.
Terutama ketika perempuan dengan dua bocah penuh ingus itu menghampirinya. Menyalami, mencium, dan memeluknya. Si lesung pipit dibuat takjub betapa mereka sanggup tak berair mata, sementara matanya sendiri mulai bocor tak karuan. Perempuan itu menghapus sungai-sungai kecil di pipinya, yang memorak-porandakan seluruh rias mukanya, dengan selendangnya sendiri. Itu malahan bikin si lesung pipit tambah cengeng. Ia mulai beringus dan mengusap wajahnya dengan ujung lengan kebaya.
Tukang foto datang menenteng kamera. Mereka berdiri berderet. Lelaki itu menggenggam tangannya, si lesung pipit ingin ngompol. Perempuan itu tersenyum sementara si tukang foto kasih aba-aba, satu-dua-tiga, demikian pula kedua bocah. Bam! Senyum itu bakalan abadi, tetapi si lesung pipit tahu senyum itu dusta. Sedusta tatapan akrab mereka yang sesungguhnya menyimpan bengis.
Ia masih melihat pandangan mereka, berhias kobaran api tak tertanggungkan, saat si lelaki menggiringnya ke kamar pengantin. Walau ia berpaling, panasnya masih membakar rongga dadanya. Maka sebelum lenyap ditelan pintu, ia berjanji pada perempuan dan dua anak penuh ingus itu, “Segera akan kukembalikan.”