- Podcast ini menggunakan Buzzsprout dan tim Buzzsprout menunjukkan betapa mudahnya menjadi seorang podcaster. Tekan link di bawah ini dan jangan lewatkan pengalaman berharga ini , untuk memperdengarkan suara Anda pada dunia!
- https://www.buzzsprout.com/?referrer_id=1783054
Kawan penyuka biblioterapi, menghabiskan waktu dengan buku memungkinkan kita untuk menjadi tenang dan kontemplatif. Ini memberi izin tubuh untuk berhenti, memperlambat, dan menghabiskan waktu dengan pikiran dan gagasan orang lain. Terkadang gak masalah apa yang kita baca; yang penting membaca sesuatu dapat menenangkan Anda. Bacaan yang menterapi kita dalam episode ini adalah karya sastrawan milenial, DEA ANUGRAH.
Simak dan ulangilah membaca sebagai terapi jiwa Anda. Tulisan Dea ini disajikan dalam 3 Episode.
"Sebuah Cerita Sedih, Gempa Waktu, dan Omong Kosong yang Harus Ada"
”HALO, di mana?”
Kau menerima panggilan di ponselmu dan memulai percakapan dengan suara berat. Sangat berat.
”Heh, kalau kuusir dari rumah, tanggung sendiri risikonya!“
”Ya, di mana? Kamu sekarang di mana?“
Barangkali telepon itu dari istri atau kekasihmu yang kau ajak tinggal serumah. Dan saat ini jelas sedang ada masalah. Tapi sepertinya bukan soal baru. Dari caramu bicara, terasa ada kejengahan yang nyaris meledak.
”Kok nggak jawab?”
Mungkin kau melarangnya keluar rumah malam ini. Tapi, ah, perempuan…. Dengan kemampuan tertentu, seekor harimau bisa dijadikan penurut seperti kucing peliharaan. Perempuan? Sejarah mencatat tentang terlalu banyaknya lelaki hebat yang tumpas karena gagal menjinakkan perempuan. John Dillinger dan Arthur Schopenhauer, contohnya.
”Kamu mau main-main sama aku ya?“
”Oke, tanggung sendiri ya risikonya kalau kuusir!“
Oh, adakah yang lebih mengenal tabiat Adam selain Eva? Bukankah dia, yang Tuhan lengkapi dengan perangkat bernama daya pikat sebagai ganti ketulusan, yang membujuk Adam melakukan dosa pertama? Maka apalah yang bisa kau lakukan selepas pertengkaran ini, kecuali menerima permintaan maaf yang sebetulnya amat terlambat, mencium kening istri atau kekasihmu itu, memeluknya erat-erat sambil menahan diri agar tidak menangis, lalu berharap yang baru saja dilewati itu sebagai penderitaanmu yang terakhir.
Tapi tak pernah ada penderitaan terakhir. Kau tahu itu.
Pukul dua belas malam lewat sedikit. Kau berada di sebuah swalayan 24 jam untuk membeli minuman kaleng, rokok, dan air mineral. Aku tahu karena kau berdiri tepat di sebelahku sambil menenteng belanjaanmu. Soal rokok, tentu kudengar jelas ketika kau memesannya: Djarum Super sebungkus, Sampoerna Mild dua. Dan akulah alasan kau harus berlama-lama di swalayan itu. Aku jugalah yang membuatmu harus bertengkar dalam suara yang dipelankan. Tapi kau tak mungkin membenciku. Kita, lelaki, punya aturan-tak-tertulis untuk tidak saling mempedulikan satu sama lain, bukan?
Omong-omong, apa yang paling menyebalkan dari swalayan 24 jam adalah sistem kerja mereka yang betul-betul 24 jam.
Di planet ini, keseluruhan waktu sehari-semalam adalah 24 jam pas. Tidak lebih, tidak kurang. Lalu bagaimana caranya sebuah swalayan yang menghabiskan semua cadangan waktu itu untuk berjualan sempat mengurusi rekap transaksi (serta macam-macam urusan lain di luar jual-beli yang melibatkan komputer kasir dan printer nota) yang terjadi dalam rentang waktu tersebut?
Mereka punya solusi brilian: semuanya akan dikerjakan selepas jam dua belas malam. Maka bersabarlah, hai orang-orang yang mengunjungi swalayan 24 jam pada saat-saat tersebut. Jika kau lapar, ingin buang hajat, mengantuk, bertengkar dengan pasangan, terancam serangan Godzilla, atau apa pun urusannya, mohon tunggu sejenak. Yang membayar dengan uang mesti menunggu hitung-hitungan kalkulator, yang menggunakan kartu harus menunggu system error dibereskan, betapa pun laman