Siapa yang menyangka keunikan kita sebagai manusia ditentukan oleh satu organ yang signifikansi bobotnya tidak seberapa berat di dalam tubuh. Kekaguman pada otak dan cara kerjanya mengantarkan obrolan santai ini pada sebuah konklusi untuk senantiasa bersyukur dan semakin mencintai Sang Pencipta karena mahakarya-Nya yang luar biasa.

Daftar Referensi:

Buku:

Ragam Akalbudi—Daniel C. Dennet.

Lainnya:

Metabolisme Oksidatif dan Peranan Neuroglobin terhadapHomeostasis Oksigen di Otak—Irfannuddin;

Anatomi Otak—dr. Prijo Sudibjo;

LHTL S01E03 s/d S01E06—Hujan Tanda Tanya YouTube Channel.

Seorang Profesor Ilmu Konsumen di Seoul National University mencoba untuk memahami kegalauan anak sulungnya yang baru memasuki masa dewasa awal setelah lulus kuliah. Merasa bahwa mungkin banyak anak muda yang mengalami kegalauan yang sama tentang masa depan membuatnya menulis buku ini. Apakah yang harus menjadi pertimbangan utama ketika memutuskan pilihan dalam menghadapi ketidakpastian masa depan? Apakah uang? Jabatan? Status sosial? Apa pula yang harus dilakukan dalam merespon kekurangan diri? Sudahkah kita menghargai waktu dan segala apa yang dihadirkan oleh takdir selama ini? Sudahkah kita mencintai takdir itu sendiri? Dan yang terpenting, sudahkah pula kita mencintai dan bersyukur pada Sang Penentu Takdir?

Empati adalah fitrah yang dimiliki oleh setiap manusia. Tidak perlu bersusah payah untuk mampu menggunakannya. Seperti bernapas, ia ada bersama manusia sejak kehidupan dimulai. Cukup dengan berusaha menjadi manusia yang baik, maka empati akan bekerja sesuai kapasitas yang sesungguhnya. Ketika empati membawa negativitas, misalnya saat digunakan secara berlebihan, maka sederhana saja, berarti kita sedang tidak menjadi manusia yang manusiawi.

Daftar Referensi:

Lainnya: Show and Tell Edukatif untuk Pengembangan Empati...--Tadkiroatun Musfiroh

Ada banyak cara untuk menerima diri sendiri. Masing-masing kita bisa memiliki proses yang berbeda. Mungkin saja menerima dengan terpaksa karena dibenturkan dengan realitas. Pun boleh jadi secara penuh kesadaran melalui proses perkenalan dengan diri sendiri yang bisa mengacu pada berbagai pendekatan.

Lepas dari kampus merupakan masa-masa yang menantang karena ini adalah semacam pintu gerbang untuk memasuki masa depan yang kita tidak ketahui keterjadiannya akan seperti apa. Dibutuhkan keyakinan yang besar bahwa semua akan baik-baik saja dan berharap setiap keputusan tidak mengarah pada hal yang sebenarnya tidak kita inginkan. Membanding-bandingkan pencapaian dengan yang sebaya adalah yang paling menggoyahkan, terutama jika jalan yang harus diarungi berbeda-beda. Terkadang tanpa kita menyadari bahwa sebenarnya perbedaan sudah kita hidupi sejak lahir. Kenapa di usia ini (+- 20-30 tahun) kita lalu cenderung "protes" dengan perbedaan?