
Sign up to save your podcasts
Or
Menyusupnya kelompok teror Jamaah Islamiyah (JI) ke lembaga terbuka semacam MUI menjadi bukti para penegak hukum lalai mengendus keberadaan kelompok radikal. Betapapun akhirnya ditangkap, kelompok itu telah bertahun-tahun mengelabui orang banyak dengan bersalin wajah. Badan antiteror gagal membaca pergerakan ini, Badan Intelijen Negara pun tak jelas perannya.
Masih aktifnya kelompok teror JI menunjukkan upaya-upaya pemerintah selama ini tak menghasilkan program sistematis untuk mengerem berkembangnya paham radikal. Lembaga yang seharusnya mencegah paham radikal terlihat sibuk membuat pelbagai seminar dan diskusi dengan menampilkan pelaku teror yang diklaim telah insaf. Sebagian bekas teroris yang telah melalui program deradikalisasi nyatanya kembali melakukan teror.
Pemerintah semestinya terus mengkampanyekan perlunya beragama secara inklusif--memegang prinsip keberagaman. Pemerintah hendaknya tidak menjadikan pluralisme sebagai kuda tunggangan kepentingan politik jangka pendek. Satu sisi sibuk mengkampanyekan Pancasila sebagai azimat penangkal sektarianisme, di sisi lain pemerintah diam-diam merangkul kelompok garis keras untuk mencari dukungan. Kita tentu masih ingat: Joko Widodo menyerah terhadap kelompok intoleran dalam demonstrasi 212 pada 2016, dan bahkan meminang penggerak demo sebagai calon wakil presiden di Pemilu 2019.
---
**Laporan mendalam tentang dua wajah kelompok radikal Jamaah Islamiyah bisa dibaca di majalah.tempo.co atau dengan mengunduh aplikasi Tempo.
**saran & kritik: [email protected]
5
33 ratings
Menyusupnya kelompok teror Jamaah Islamiyah (JI) ke lembaga terbuka semacam MUI menjadi bukti para penegak hukum lalai mengendus keberadaan kelompok radikal. Betapapun akhirnya ditangkap, kelompok itu telah bertahun-tahun mengelabui orang banyak dengan bersalin wajah. Badan antiteror gagal membaca pergerakan ini, Badan Intelijen Negara pun tak jelas perannya.
Masih aktifnya kelompok teror JI menunjukkan upaya-upaya pemerintah selama ini tak menghasilkan program sistematis untuk mengerem berkembangnya paham radikal. Lembaga yang seharusnya mencegah paham radikal terlihat sibuk membuat pelbagai seminar dan diskusi dengan menampilkan pelaku teror yang diklaim telah insaf. Sebagian bekas teroris yang telah melalui program deradikalisasi nyatanya kembali melakukan teror.
Pemerintah semestinya terus mengkampanyekan perlunya beragama secara inklusif--memegang prinsip keberagaman. Pemerintah hendaknya tidak menjadikan pluralisme sebagai kuda tunggangan kepentingan politik jangka pendek. Satu sisi sibuk mengkampanyekan Pancasila sebagai azimat penangkal sektarianisme, di sisi lain pemerintah diam-diam merangkul kelompok garis keras untuk mencari dukungan. Kita tentu masih ingat: Joko Widodo menyerah terhadap kelompok intoleran dalam demonstrasi 212 pada 2016, dan bahkan meminang penggerak demo sebagai calon wakil presiden di Pemilu 2019.
---
**Laporan mendalam tentang dua wajah kelompok radikal Jamaah Islamiyah bisa dibaca di majalah.tempo.co atau dengan mengunduh aplikasi Tempo.
**saran & kritik: [email protected]
3 Listeners
30,688 Listeners
3 Listeners
3 Listeners
22 Listeners
23 Listeners
18 Listeners
0 Listeners
3 Listeners
1 Listeners
0 Listeners
0 Listeners
5 Listeners
0 Listeners
0 Listeners