Di penghujung tahun 62 M, rasul Paulus, yang menjadi tahanan di Roma, menuliskan surat kepada jemaat di Kolose. Saat itu, tanpa disadari kehidupan jemaat telah ‘mengecilkan’ peran supremasi Kristus dengan menambahkan praktik-praktik lain dari Perjanjian Lama atau menambahkan Kristus dalam praktik kepercayaan spiritual atau keberadaan ‘malaikat’. Padahal seharusnya, Kristuslah yang menjadi kunci hidup kaum beriman. Saat itu, ada sesuatu kekosongan dalam diri jemaat dan mayoritas generasi saat itu. Mereka terjebak dalam kehidupan kekaisaran Roma yang menawarkan kedamaian dunia alam semesta yang diketahui saat itu. Namun, ‘ketenangan’ itu juga mencegah mereka untuk hidup seturut kehendak pribadi. Mereka kembali kepada ‘spiritualitas’. Doktrin rahasia yang menawarkan ‘siapa yang sempurna’ akan menuju tingkatan lebih tinggi dan teori yang dikenal dengan gnosis (pengetahuan) yang membahas asal usul manusia dan dunia. Menurut mereka, segala hal berasal dari ‘cosmic soup’ yang mendidih begitu lama dalam semesta, dan disanalah keberadaan makhluk celestial dan malaikat atau “eons” saling berinteraksi, berperang, dan berjuang hidup yang akhirnya melahirkan percikan roh dalam dunia materi. Jadi, manusia bentukan ini, yang telah melewati berbagai tahap eksistensi pada akhir nantinya akan kembali kepada kerajaan cahaya. Terjebak dalam fenomena seperti jemaat saat itu, sekarang ini banyak orang yang percaya pada penyembahan kepada roh atau mengijinkan hidup mereka dituntun oleh praktik spiritualitas, astrologi, ataupun horoskop. Jemaat tak lagi menempatkan Kristus sebagai satu-satunya sang juru selamat karena kita memberikan prioritas hidup kepada orang lain atau kepada praktik-praktik yang bukan ajaran GerejaNya. Krisis gereja perdana di abad pertama ini melahirkan surat Paulus yang mengingatkan kembali akan supremasi Kristus sebagai juru selamat hidup manusia.