Dalam iman Kristen, problem kejahatandianggap sebagai salah satu argumen ampuh untuk menentang eksistensi Allah. Akan tetapi, apakah pertanyaan di seputar kejahatan selalu bermuara pada diskusi mengenai keberadaan Allah? Adakah cara pandang lain untuk merefleksikan secara teologis problem kejahatan ini?  Bersama kita, hadir Ev. Jessica Layantara, dosen di Universitas Pelita Harapan, yang meraih gelar Magister Teologinya di STT Amanat Agung, Jakarta. Semoga menjadi berkat. 

Kepemimpinan gerejawi menjadi sorotan yang tidak dapat diabaikan dalam berteologi. Menyadari bahwa teologi adalah refleksi kritis atas praktik gerejawi, maka pengambilan keputusan etis merupakan tempat persemaian teologi.  Bersama dengan Michael Willy Patawala, alumnus UKSW Salatiga dan Vrije Universiteit Amsterdam, kita akan menggali bagaimana gereja seharusnya mengambil keputusan dalam keadaan konfliktif. Pengambilan keputusan dalam konteks eklesial seperti ini tidak mudah. Podcast kali ini sangat bermanfaat bagi para pimpinan gerejawi. 

Bapa Gereja Apostolik Tertulianus berkata, "Darah para martir adalah benih gereja." Namun, apakah Kekristenan didirikan di atas dasar teologi kesyahidan? Apakah gereja perdana dianiaya? Bersama Perdian Tumanan (UK. Petra, Anabaptist Mennonite Biblical Seminary) menelusuri kembali teologi kemartiran dan bagaimana menempatkan kemartiran secara proporsional. Bung Perdian menunjukkan di area apa saja teologi kemartiran ini telah diromantisasi, apa bahayanya, dan bagaimana sikap Kristiani yang seharusnya. Selamat menikmati. 

Apa yang memungkinkan sebuah proses berpikir teoritis bisa terlaksana? Pertanyaan tersebut sebenarnya sudah lama ditanyakan secara implisit oleh Immanuel Kant. Namun, bisa dikatakan belum ada karya penting lain setelah Kant yang mengritik kembali Kant sekaligus memberikan pemaparan lebih holistik mengenai kritik transendental selain Herman Dooyeweerd.  Melalui diskusi mengenai pemikiran Dooyeweerd, kita akan melihat usulan kritis Dooyeweerd tentang prakondisi berfilsafat yang sedang diteliti Abel K. Aruan, mahasiswa tahun terakhir di STT SAAT, dalam skripsinya. Implikasi berikutnya akan menjawab apakah dialog teoritis dapat dilakukan oleh dua pihak berbeda agama, yang tentunya sangat relevan dengan konteks pluralisme agama hari-hari ini. 

Dalam kemeriahan Natal, adakah yang terlupakan? Jika Anda seorang pendeta yang terus berkhotbah di masa Natal, pernah merasa "kehabisan" bahan berkhotbah? Jika Anda warga jemaat, pernahkah Anda merasa bahwa berita yang disajikan di masa Natal tidak ada yang baru? Diskusi kali ini disajikan secara ringan dalam panel berempat, bersama Perdian Tumanan, Adi Widya Nugroho, Daniel Sihombing, dan Nindyo Sasongko. 

Apa artinya Natal bagi kaum Muslim? Bolehkah mengucapkan "Selamat Natal" bagi kaum Nasrani? Apa akidahnya? Di tengah situasi keberagamaan yang kerap ditantang di tanah air, Theovlogy mengundang tokoh Muslim untuk berbincang mengenai pokok masalah ini. Temukan jawabannya dalam obrolan eksklusif @Theovlogy kali ini, obrolan yang mendedah teologi Islam dari sumbernya, pakar-teolog-sufi Islam.  Siaran eksklusif @Theovlogy kali ini bersama Romo Ustadz Yusuf Daud, pengasuh SophiaCitra Institute PhiloSufi Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue dan sarjana Tasawuf Islam. 

Pentingkah Natal itu? Seberapa penting? Simak obrolan serius tapi santai bersama admin Theovlogy kali ini. Masing-masing admin memiliki pandangan, dan sangat mungkin sobat Theovlogy pun memiliki pandangan yang berbeda. Mari simak dan kita dapat meneruskan diskusi tentang hal ini bersama-sama.

Era Patristika dikenal sebagai suatu era dalam sejarah gereja setelah era apostolik. Pada era Patristika, mulai abad ke-3 sampai ke-6, para bapa gereja mulai mengembangkan pemikiran-pemikiran teologis-fundamental yang menjadi dasar keyakinan gereja am. Lalu, mengapa perlu belajar pemikiran-pemikiran pada zaman Patristika? Mari belajar bersama Adi Widya Nugroho, mahasiswa tingkat akhir di F. Teol. UKDW, Yogyakarta. 

Dalam tradisi Kristen, manusia dikenal sebagai gambar Allah. Dapatkah gambar Allah ini dilihat dalam identitas manusia sebagai makhluk bermain? Atau dapat dikatakan, kesejatian manusia adalah sebagai makhluk yang bermain (homo ludens).  Dalam pembahasan ini, gambar Allah yang tercermin dalam kemerdekaan untuk bermain. Dalam hal ini, manusia telah dianugerahi rahmat. Maka, dosa adalah ketidakmampuan untuk bermain.  Bersama Nindyo Sasongko, mahasiswa Ph.D. dalam teologi sistematika di Fordham University, New York.   Pranala makalah: http://bit.ly/Hm-Ludens 

Kritik kaum Protestan atas lagu Mary's Boy yaitu pada kalimat, "Men [sic] will live forever more, because of Christmas Day!" Tidak, kata mereka, manusia diselamatkan karena Paskah, bukan Natal. Namun tunggu dulu! Simak podcast kali ini, karena Dr. Joas Adiprasetya akan menantang pemikiran ini. Mendulang hikmat dari tradisi Fransiskan, khususnya dari pemikiran Bonaventura dan Yohanes Duns Scotus, Pak Joas menawarkan bahwa Inkarnasi adalah hasrat terdalam Allah. Allah yang diam bersama manusia adalah kerinduan Allah. Jadi, manusia telah diselamatkan dengan kehadiran Kristus di tengah kita! Penebusan bukan dilakukan karena keniscayaan dosa. Penebusan bukanlah Plan-B Allah, bahwa plan A Allah telah dikorupsi oleh dosa, dan Kristus datang untuk menebus manusia dari dosa. Jangan lewatkan podcast kali ini dan dapatkan berkatnya!