Dalam kehidupan ini, kita mengenal tiga jenis kebutuhan, dan itu sudah diterima oleh hampir semua orang; yaitu kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Kebutuhan primer adalah kebutuhan utama manusia yang tidak dapat ditunda pemenuhannya agar kehidupan bisa berjalan dengan baik. Kebutuhan ini harus dipenuhi, karena berkaitan dengan kelangsungan hidup setiap hari. Adapun kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang tidak mendesak, dan untuk memenuhinya, dapat dilakukan setelah kebutuhan primer terpenuhi. Setelah kebutuhan primer dan sekunder ini terpenuhi, biasanya orang masuk pada kebutuhan tersier; kebutuhan terhadap barang yang dikategorikan mewah. Jenjang kebutuhan ini pada umumnya membelenggu manusia. Tidak bisa tidak. Karena, manusia pada umumnya memburu itu semua. Dan itu kewajaran hidup. Sadar atau tidak, banyak orang percaya yang terpengaruhi juga dengan pola hidup seperti itu. Kita semua sudah biasa memiliki irama hidup seperti ini, sadar atau tidak sadar. Itu kita warisi dari nenek moyang, dari orangtua, dan pengaruh lingkungan kita. Dan kita menggulirkan hari hidup kita dalam pola hidup seperti yang orang lain juga lakukan.
Pada akhirnya, tidak bisa dibantah, jarang ada orang yang puas walaupun telah terpenuhinya tiga jenis kebutuhan tersebut. Mereka seperti orang yang selalu haus untuk meneguk lebih banyak yang dapat dimiliki dari dunia ini. Orang akan selalu haus, ingin meneguk semua kesenangan yang dunia sediakan. Dengan cara ini, sebenarnya kuasa gelap membelenggu manusia dan menggiringnya ke dalam kegelapan abadi. Ironisnya, pola hidup seperti ini juga ada dalam kehidupan para rohaniwan. Kalau kita membicara hal ini kepada orang yang tidak memiliki niat untuk berkenan di hadapan Tuhan, sulit. Tetapi, kita harus memperkarakan hal ini kepada orang yang sadar betapa singkatnya waktu hidup kita, bahwa hidup kita akan berlanjut di kekekalan, bahwa apa yang kita lakukan di dunia ini menentukan nasib kekal, agar mereka dapat dengan jujur menilai kehidupannya masing-masing. Sebab, mestinya kebutuhan primer kita adalah sempurna seperti Bapa atau serupa dengan Yesus, agar kita layak dimuliakan.
Maka, fokus orientasi hidup kita harus benar-benar sesuai dengan cara hidup yang Tuhan Yesus ajarkan dan Tuhan Yesus kenakan. Yang untuk zaman sekarang, nyaris tidak bisa dikenakan karena berat. Beratnya karena memang mengenakan gaya hidup itu sendiri. Yang kedua, karena manusia di sekitar kita itu makin jauh dari kebenaran Injil yang sejati. Tetapi kalau kita mau selamat, mau aman di kekekalan, kalau kita mau tahan berdiri di hadapan Anak Manusia, di hadapan takhta pengadilan Tuhan Yesus, kita harus berani untuk berubah. Kehidupan Yesus adalah pusat hidup kita. Memang, untuk menjadi “seperti Yesus” itu abstrak, tapi setiap orang harus menemukannya karena ini sifatnya pribadi. Maka jangan sampai pikiran, perasaan kita dirusak oleh tontonan, film, pergaulan yang salah, sehingga lahir keinginan-keinginan atau kehendak-kehendak yang tidak sesuai dengan karena Allah. Bagi orang yang mengasihi Tuhan, yang sudah punya komitmen yang kuat, Tuhan pasti garap. Kalau tidak, tidak bisa. Karena hanya orang yang mengasihi Allah yang melalui segala keadaan, Allah menjadikan dia serupa dengan Yesus. Jadi, kita dihajar Tuhan sampai kita pindah, dan menemukan dimensi yang baru dalam hidup.
Kalau kita benar-benar menghayati bahwa kita penerima waris Kerajaan Allah, maka kita pasti bersedia untuk digarap oleh Tuhan. Oleh karena itu, mulai sekarang kita harus memindahkan prinsip atau filosofi hidup anak dunia, ke prinsip kebenaran Alkitab. Roh Kudus pasti akan memberi kita pengertian; dimana kita akan mulai menghayati singkatnya hidup ini, tragisnya hidup. Namun ketragisan hidup ini tidak membuat kita jadi pesimis dan kurang bahagia. Hidup ini tragis, maka kalau kita tidak memaksa diri untuk ikut Tuhan Yesus, apa yang mau kita cari? Itulah sebabnya Paulus mengatakan, “asal ada makanan, pakaian, cukup” (1Tim. 6:8).