(Taiwan, ROC) --- Di sekolah modern saat ini, perselisihan antara guru dengan siswa perihal penggunaan ponsel terjadi hampir setiap hari. Guru ingin menjaga ketertiban kelas, dan siswa terbiasa mengecek ponsel setiap saat, sementara orang tua khawatir akan dampaknya terhadap prestasi akademik anak, tetapi pada saat yang sama tetap ingin bisa berkomunikasi dengan mereka secara real-time.
Dilema ini membuat ponsel menjadi benda yang love-hate relationship. Bagaimana cara mengaturnya agar semua pihak puas? Apakah ponsel di sekolah adalah alat bantu atau justru gangguan?
Sebenarnya, ini bukan hanya masalah di Taiwan, negara-negara di seluruh dunia belakangan ini telah mengajukan kebijakan pengaturan ponsel di sekolah, beberapa melarang dengan ketat, beberapa mengelola dengan fleksibel, setiap negara memiliki pendekatan berbeda.
Baru-baru ini, Kementerian Pendidikan Taiwan (MOE) juga telah menyelesaikan draf revisi Prinsip Penggunaan Perangkat Seluler di Sekolah Menengah ke Bawah, berusaha mencari keseimbangan antara meningkatkan konsentrasi belajar dengan mengembangkan pendidikan digital, tetapi jalan ini tampaknya tidak mudah.
Perbandingan Internasional: Bagaimana Negara Lain Mengatur?
Pada tahun 2023, UNESCO mengeluarkan laporan yang menghimbau untuk tidak menggunakan teknologi seperti smartphone dan komputer secara berlebihan di sekolah. Ada bukti yang menunjukkan bahwa penggunaan ponsel yang berlebihan terkait dengan penurunan prestasi akademik, dan paparan layar dalam waktu lama dapat berdampak negatif pada kemampuan belajar anak-anak.
Seperti yang Anda duga, multitasking antara mengikuti pelajaran dan mengecek notifikasi ponsel akan mempengaruhi memori dan kinerja otak. Contoh bahaya lainnya seperti menggunakan ponsel saat mengemudi. Penelitian menunjukkan bahwa bahkan hanya menelepon (bukan mengirim pesan) sudah cukup untuk memperlambat reaksi pengemudi di jalan.
Prancis: Larangan Total di Sekolah
Sejak Juli 2018, Prancis telah menerapkan larangan penggunaan ponsel, tablet, komputer, dan smartwatch di sekolah. Pedoman ini diterapkan di sekolah dasar dan menengah, bertujuan untuk mengurangi gangguan, meningkatkan prestasi siswa, dan mendorong interaksi sosial antar teman sebaya.
Cara konkret membuat siswa melepaskan ponsel termasuk meminta siswa menyerahkan ponsel mereka atau menggunakan tas ponsel khusus (yang memerlukan perangkat khusus untuk membukanya).
Sekolah Menengah Claude Hermann di selatan Paris mengadopsi metode pertama, mengizinkan siswa membawa perangkat ke sekolah dengan syarat menyerahkannya kepada guru di pagi hari untuk disimpan sepanjang hari. Kebanyakan siswa patuh, tetapi ada beberapa yang menolak dan berkonflik dengan guru.
Tentu saja, ada juga masalah tanggung jawab menyimpan ratusan atau ribuan ponsel. Jika ponsel rusak, hilang, atau dicuri, maka sekolah harus menghadapi tuntutan ganti rugi.
Karena alasan ini, banyak sekolah memilih menggunakan tas ponsel yang bisa disegel, sehingga siswa dapat menyimpan perangkat mereka sendiri, tetapi tas tersebut tidak bisa dibuka tanpa perangkat pembuka khusus.
Perkembangan terbaru, pemerintah Prancis pada 2024 mengumumkan rencana untuk melarang total penggunaan ponsel di sekolah paling lambat pada tahun ajaran 2025.
Meskipun pendekatan ini tampak menyeluruh, apakah ini benar-benar membantu siswa membangun kekebalan terhadap arus digital? Atau hanya menghilangkan gangguan di permukaan saja? Mari kita lihat bagaimana Amerika Serikat menangani masalah ini.
Amerika Serikat: Peraturan Bervariasi Antar Negara Bagian, Namun Cenderung Ketat
Pada dasarnya, kebijakan pengelolaan ponsel di sekolah AS berbeda-beda di setiap negara bagian. Sekolah negeri di New York pernah melarang total ponsel di sekolah, tetapi kemudian mengizinkan setiap sekolah membuat keputusan sendiri. Florida baru-baru ini mengeluarkan undang-undang negara bagian yang melarang siswa menggunakan ponsel di kelas dan mengakses media sosial melalui jaringan Wi-Fi sekolah.
Seiring regulasi menjadi hal biasa, semakin banyak negara bagian dan sekolah di AS mulai mempertimbangkan cara mengelola perangkat elektronik anak-anak.
Menurut data terbaru Departemen Pendidikan AS, sekitar 76% sekolah negeri AS (dari California yang liberal hingga Florida yang konservatif) telah menerapkan beberapa tingkat larangan penggunaan ponsel di sekolah.
Namun, seringnya kejadian penembakan di sekolah AS membuat beberapa orang tua dan sekolah mengevaluasi kembali peran penting ponsel sebagai alat komunikasi darurat, sehingga negara-negara bagian tetap mempertahankan fleksibilitas tertentu saat menerapkan regulasi.
Jepang: Manajemen Fleksibel, Menekankan Disiplin Diri
Jepang tidak melarang total siswa mereka membawa ponsel, melainkan menekankan pendidikan etika digital agar siswa belajar menggunakan ponsel dengan benar di sekolah.
Bahkan, sekolah negeri Jepang semakin melonggarkan penggunaan smartphone. Siswa SD dan SMP di Osaka Prefecture serta siswa SMA di Prefektur Hiroshima kini diizinkan menggunakan ponsel di sekolah.
Survei Dewan Pendidikan Tokyo sejak 2018 menemukan bahwa lebih dari 97% siswa SMA Tokyo kini menggunakan smartphone. Dengan meluasnya penggunaan smartphone, ada tuntutan agar dewan mencabut larangan membawa ponsel ke sekolah sehingga siswa dapat menggunakannya dalam keadaan darurat atau situasi yang diperlukan.
Meluasnya penggunaan ponsel ini membuat para pendidik merasa perlu mereformasi praktik terkait untuk menyesuaikan dengan kebutuhan sosial yang terus berubah. Setelah reformasi, kepala sekolah SMA memiliki wewenang untuk memutuskan apakah siswa boleh membawa dan menggunakan ponsel di sekolah.
Beberapa sekolah mengharuskan siswa menyimpan ponsel di loker khusus selama pelajaran, sementara yang lain menggunakan sistem kontrol elektronik untuk membatasi koneksi internet ponsel pada waktu-waktu tertentu guna mengurangi gangguan di kelas.
Praktik di Taiwan: Regulasi Ponsel yang Masuk Akal, tapi Bagaimana Cara Menerapkannya?
Melihat secara global, kebijakan pengelolaan ponsel di sekolah di berbagai negara dapat dibagi menjadi 3 model, meliputi larangan total, pembatasan moderat dan panduan disiplin diri.
Ketiga model ini mencerminkan pilihan nilai yang berbeda dari berbagai negara mengenai penggunaan ponsel oleh siswa, dan juga memberikan referensi yang berharga untuk praktik konkret di Taiwan.
Dalam beberapa tahun terakhir, sambil mendorong pembelajaran digital, Taiwan juga mulai memperhatikan dampak ponsel terhadap konsentrasi belajar, dan Kementerian Pendidikan baru-baru ini mengajukan draf revisi terkait.
Pada Oktober 2024, anggota Yuan Legislatif Fan Yun (范雲) mengadakan rapat dengar pendapat tentang Generasi Overexposed, Kecanduan Ponsel dan Pembelajaran di Sekolah, dengan mengundang ahli, perwakilan sekolah dan orang tua untuk mendiskusikan masalah tersebut.
Menurut laporan Mandarin Daily News di tempat kejadian, kelompok guru berpendapat bahwa siswa tidak boleh menggunakan ponsel di sekolah dan harus diatur secara total, menyarankan agar MOE membuat peraturan yang mengikat.
Perwakilan siswa menyatakan bahwa generasi ini tidak dapat menghindari pengaruh ponsel dan internet, seharusnya membimbing siswa menggunakan ponsel secara masuk akal, menjadikan ponsel sebagai bantuan bukan hambatan.
Tampaknya, metode regulasi mengambil pandangan kompromi, dibandingkan dengan larangan total Prancis, lebih condong ke arah pengembangan pembatasan moderat jalur tengah.
Namun, karena saat ini masih dalam tahap draf, terdapat masih ada banyak masalah pelaksanaan detail, dan otoritas Taiwan juga dapat membandingkan praktik AS dengan Jepang.
Seperti saat pembatasan, siapa yang akan menyimpan ponsel? Wakil Direktur Kantor Kebijakan Asosiasi Guru Nasional, Wu Chang-mei (巫彰玫) menyatakan bahwa setiap sekolah memiliki cara berbeda dalam mengelola siswa yang membawa ponsel ke sekolah.
Jika terjadi kerusakan saat penyimpanan terpusat, siapa yang akan mengganti? Apakah perlu persetujuan orang tua untuk menyita ponsel? Ketika meminta siswa menyerahkan ponsel, mereka mungkin hanya memberikan ponsel lama, power bank atau barang pengganti lainnya, dan bagaimana menangani konflik guru dengan siswa jika situasi menjadi serius?
Jika Kementerian Pendidikan menetapkan pedoman, maka dia menyarankan untuk mencari pendapat secara luas untuk membuat kebijakan lebih sempurna.
Selain itu, apakah perlu menerapkan metode pengelolaan berbeda berdasarkan karakteristik siswa juga menjadi bahan diskusi. Ketua National Federation of Education Unions (NEU), Lin Shuo-jie (林碩杰) menunjukkan bahwa metode pengelolaan harus mengadopsi pendekatan aliran dan tingkatan yang berbeda, memisahkan SMA dengan SD-SMP.
Artinya, siswa SMA memiliki otonomi lebih tinggi, sedangkan anak-anak SD-SMP belum matang secara mental, sehingga masih membutuhkan bimbingan dalam hal manajemen diri dan disiplin diri.
Lalu apa yang harus dilakukan? Kementerian Pendidikan harus menetapkan metode pengelolaan konkret secara seragam untuk menghindari kebingungan dan memastikan pelaksanaan yang efektif di lapangan pendidikan.
Tentu saja, karena regulasi ini dimaksudkan untuk membatasi siswa, maka diharapkan ke depannya Kementerian Pendidikan saat mempertimbangkan pembatasan konkret, tidak lupa untuk lebih menjamin proporsi partisipasi perwakilan siswa, untuk memastikan otonomi dan hak suara anak dan remaja.