AI menggantikan manusia? ( Part 2 )
Konten yang telah melanggar dengan menggunakan AI dalam platform musik telah menimbulkan berbagai pertanyaan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam ekosistem musik, pertanyaan utamanya apakah akan menggunakan perspektif dari seorang artis, penggemar, sebuah ekspresi kreatif manusia ataupun sebuah penipuan yang telah merampas kompensasi yang adil bagi sang artis.
Pernyataan Universal Music diakhiri dengan menekankan bahwa setiap platform memiliki tanggung jawab hukum dan moral dalam mencegah layanan yang dapat merugikan pencipta artistik. Jelas kalimat ini ditujukan bagi platform digital seperti Spotify, Apple Music, Youtube, DLL.
Bahkan ada banyak sekali cover dari penyanyi AI, misal AI dari Bruno Mars yang menyanyikan versi akustik “ Hype Boy “ hingga AI Kurt Cobain yang mengcover “ Wonderwall “ dan kualitasnya tidak merata, tentu hal ini akan mengakibatkan produser yang tidak merata.
Rick beato menunjukkan bahwa industri musik dalam menghadapi situasi AI pada saat ini mirip seperti peluncuran Napster pada tahun 1999, dimana banyak mahasiswa yang berbagi file audio di berbagai jejaring sosial, faktanya pihak perusahaan tidak akan mengetahui hal ini, ketika Metallica mengajukan gugatan kepada Napster, semua orang tentu kaget, pasar musik tidak tahu harus berbuat apa, sampai streaming platform dan pemerintah mufakat dengan berbagai regulasi terkait hak cipta dan implementasi penggunaan layanan lagu berbasis online.
Dengan perkembangan teknologi AI, suara penyanyi populer yang kerap digunakan netizen dalam penggunaan filter dan aplikasi pihak ketiga yang dapat menawarkan pengubahan wajah seseorang beserta dengan lagu populer. Pengguna hanya perlu mengunggah file vokal ke sebuah situs seperti Music AI dan dapat memilih berbagai suara vokal yang sudah tersedia, opsi seperti Kendrick Lamar, joji, Rihana, DLL yang dapat produksi dalam kurun waktu beberapa menit saja.
Kemajuan pesat dari teknologi AI adalah salah satu kesulitan dalam membahas ruang lingkup dampak teknologi di bidang dunia kreatif, bak ombak di lautan yang tidak dapat diprediksi, yang kapan saja dapat memicu sebuah gelombang dahsyat, dengan kondisi seperti ini maka di masa mendatang suatu hari kita semua akan terlibat didalamnya.
Seperti ChatGPT dan Midjourney pada saat pertama kali dirilis, tidak sedikit para editor video, desainer, dan berbagai penggiat konten kreatif lainnya yang menunjukkan antusias dan respon yang positif. Selain itu sebagian besar para penyanyi yang terpengaruh oleh AI adalah seorang superstar yang merasa terusik dengan “ kepentingan profit “, dapat dilihat ketika sebuah video menjadi viral, dan artis yang tiba-tiba meledak diperlakukan sebagai seorang selebriti internet, namun pada akhirnya harus mengkritik AI dan menolak trend terbaru ini.
Sebelum “ Heart On My Sleeve” menjadi populer, berita musik AI yang paling menarik perhatian adalah ketika sebuah MV dari AI Linkin Park “ Lost “ pada bulan Februari 2023 dan DJ asal Perancis David Guetta yang menggunakan AI dalam menulis lirik dan AI Eminem dalam menggelar pertunjukkan miliknya, namun setelah popularitas “ Heart On My Sleeve” meningkat, tidak sedikit diskusi yang viral di kalangan musisi dan Medsos terkait cara pembuatan suara vokal AI yang harus berujung kepada respon terkait Hak cipta sebuah lagu yang digunakan.
24 April 2023 seorang musisi asal Kanada Grimes yang mencuitkan sebuah pesan via Twitter bermaksud untuk mengijinkan para penggiat untuk menggunakan suara vokalnya bagi publik, bagi siapa yang dapat membuat suara vokalnya sukses dalam sebuah hasil karya, maka akan membagikan 50% dari royalti akan lagu ini. Dirinya membenarkan secara sukarela menjadikan dirinya menjadi tikus percobaan, menganjurkan bagi sumber musik terbuka dan melawan aturan regulasi hak cipta yang ada. Bahkan telah meluncurkan sebuah perangkat lunak vokal miliknya sendiri yang bernama Elf Tech, dengan mengundang berbagai penggiat karya dan musisi untuk menggunakan wadah ini sebagai tempat berkarya secara terbuka dan cuma-cuma.
Kendati Elf Tech telah dirilis, dan respon netizen nampak antusias, namun ada saja beberapa pihak yang tidak menghargai keputusan yang diambil oleh Grimes, seorang netizen sempat mengejek dalam sebuah pesan yang berisikan : “ Grimes terlalu malas, bahkan sangat malas sehingga kami harus membantunya membuat musik.”
Di Taiwan, seorang penyanyi Chen Sanni merilis sebuah lagu yang berjudul “ Teach Me How to be Your Lover.” pada tanggal 14 Maret 2023, sepintas lagu ini tidak berbeda dengan lagu pop pada umumnya, lagu ini adalah hasil kolaborasi antara penulis lirik dan berbagai musisi profesional Taiwan yang telah didistribusikan secara digital ke berbagai akun streaming yang tersedia.
Namun seminggu kemudian, Chen Sanni dan Taiwan AI Lab menggelar sebuah konferensi pers dan mengumumkan bahwa suara vokal dari lagu ini adalah sebuah model AI dengan penggunaan pembelajaran kecerdasan buatan. Sontak media heboh, tidak sedikit pembahasan terkait pengaruh musik AI yang cukup intensif dari segi konsep dunia kreatif. Chen Sanni secara pribadi memproduksi lagu ini, tidak hanya mengumpulkan data suara vokal dirinya untuk dijadikan data mentah bagi AI, dan membiarkan AI untuk menghantarkan emosi yang ingin diekspresikan.
Keaslian suara seorang manusia dengan AI menjadi sangat kabur, garis antara pencipta dan teknisi musik yang dapat dikreasikan oleh AI menjadi pesan penting bagi skema industri musik. Sementara publik masih terlihat kaget dengan hasil karya seperti ini, namun Chen Sanni telah memberikan kuasa penuh terkait hak cipta lagu ini kepada Insinyur dan tim produksi Taiwan AI Lab. namun ketika dirinya diwawancarai oleh media, dirinya tidak dapat menjamin bahwa hubungan kolaboratif antar manusia dan AI pada saat ini tidak akan berubah, apa yang akan terjadi di masa mendatang tentu tidak dapat diprediksikan.
Pantau terus yows, bersambung di pekan depan..