Cuma buruh yang bisa demo? Musisi juga! ( Part 1 )
Kebanyakan dari kita mungkin sering kali mendengarkan bahwa demo atau aksi unjuk rasa yang di gelar oleh berbagai kalangan masyarakat, hal ini dilakukan demi menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah yang sekaligus berharap agar mendapatkan perhatian dan perubahan signifikan di masa mendatang terkait sebuah ide maupun gagasan.
Namanya juga manusia, pasti mengharapkan sesuatu yang lebih baik demi anak cucu kita. Musisi pun manusia, maka dari itu agak terdengar sedikit asing ketika musisi juga memiliki beberapa aspirasi demi mendapatkan hidup dan masa depan yang lebih baik demi kepentingan bersama.
Musisi juga pernah demo loh, lalu perihal apa sih yang mereka permasalahkan? Mari kita kupas dan ulas lebih lanjut terkait hal ini. Dilansir dari Wikipedia, pada tanggal 1 Agustus 1942 sebuah federasi Musisi yang berlokasi di Amerika Serikat atas dorongan sebuah serikat pekerja yang dipimpin oleh James C Petrillo memulai sebuah inisiasi mogok kerja terhadap perusahaan rekaman besar.
Hal ini diawali gegara perbedaan pendapatan terkait pembayaran royalti, singkat kata pada tanggal 31 Juli 1942 semua musisi sepakat untuk mogok kerja, tidak ada musisi yang boleh membuat rekaman komersial untuk perusahaan rekaman di Amerika. Artinya musisi serikat pekerja diperbolehkan berpartisipasi dalam program radio dan hiburan musik offline lainnya, namun tidak di dalam sebuah sesi rekaman sebuah musik. Hal ini menjadi demo musisi pertama yang tercatat serta memakan waktu terlama dalam sejarah hiburan, terhitung dari tahun 1942 hingga 1944 semua musisi di tanah paman sam setuju untuk mendukung hal ini.
Aksi mogok tersebut tidak mempengaruhi berbagai penampilan musisi di acara radio, konser atau berbagai kegiatan musik publik lainnya. Setelah tanggal 27 Oktober 1943 pada rekaman khusus yang dibuat oleh perusahaan rekaman untuk V-Disc yang siap didistribusikan untuk angkatan bersenjata yang siap berperang di medan laga Perang Dunia II, dikarenakan V-Disc tidak tersedia untuk masyarakat umum. Namun serikat pekerja sering kali mengancam untuk menarik musisi dari jaringan radio demi menghukum masing-masing instansi dan afiliasi yang dianggap tidak adil dengan dalih telah melanggar kebijakan serikat pekerja dalam merekam acara televisi, khususnya tayangan ulang.
Dapat dikatakan bahwa dampak dari pemogokan tersebut berakibat fatal bagi kancah musik Amerika, pada saat itu band-band terkenal yang turut terhimpun dalam serikat pekerja musisi mendominasi musik populer. Setelah pemogokan band digencarkan nama dan pamor dari band-band tersebut mulai menurun, disaat yang bersamaan vokalis mulai mendominasi dunia musik populer.
Petrillo sudah lama menyatakan secara terbuka bahwa perusahaan rekaman harus membayar royalti kepada penggiat karya, sebagai ketua serikat pekerja cabang Chicago pada tahun 1937, dirinya mengorganisir pemogokan disana. Hal ini tentu berimbas kepada dirinya, secara aktif yang selalu menyuarakan serta selalu memperjuangkan nasib dan masa depan musisi maka tidaklah heran apabila dirinya dengan mudah terpilih sebagai presiden Federasi Musisi Amerika pada tahun 1940.
Ketika dirinya mengumumkan bahwa pelarangan rekaman akan dimulai pada tanggal 31 Juli 1942 tengah malam, kebanyakan orang mengira hal itu tidak akan terjadi. Amerika yang baru saja mempersiapkan diri dalam kondisi genting Perang Dunia II pada tanggal 8 Desember 1941, fokus publik pun menurun terkait hal ini, sebagian besar surat kabar menentang hal tersebut. Pelarangan bagi para musisi untuk bekerja di sebuah perusahaan rekaman atau acara televisi harus segera mempersiapkan diri demi menimbun acara yang siap disiarkan dari artis paling populer.
Dua minggu pertama di bulan juli, semua musisi berbondong-bondong merekam materi musik yang baru, nama-nama besar seperti : Count Basie, Woody Herman, Alvino Ray, Johnny Long, Judy Garland, Crosby, Benny Goodman, Kay Kyser, Dinah Shore, Duke Ellington, DLL bergegas untuk memulai rekaman di semua studio yang tersebar demi mengejar target penghentian proses perekaman.
Beberapa bulan berlalu sebelum dampak aksi mogok musisi itu dirasakan, pada awalnya perusahaan rekaman berharap untuk menghentikan gertakan serikat pekerja dengan merilis judul-judul lagu baru yang belum pernah diterbitkan sama sekali, namun aksi mogok tersebut berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan dan akhirnya cadangan lagu baru yang dimiliki perusahaan rekamannya menipis, hal ini membuat banyak produser di studio mulai kehabisan akal demi mencari lagu baru.
Cara yang paling tepat untuk menanggulangi perkara ini adalah perusahaan rekaman yang mulai menerbitkan kembali rekaman-rekaman yang telah lama beredar atau sempat dihapus dari katalog lama yang pernah mereka rilis beberapa tahun sebelumnya. Termasuk juga beberapa rekaman dari awal era tahun 1925. Salah satu penerbitan ulang yang sangat sukses adalah rilisan dari Columbia dengan judul lagu “ All or Nothing at All “ yang dinyanyikan oleh Harry James yang pernah dirilis pada bulan Agustus 1939. Rilisan aslinya memuat kredit yang tercantum dengan rapi, sembari membubuhkan vokal suara yang dinyanyikan oleh Frank Sinatra dalam huruf kecil, rilisan ini berhasil dijual sebanyak 5000 eksemplar.
Ketika Columbia menerbitkan kembali rekaman tersebut pada tahun 1943 yang juga dinyanyikan oleh Frank Sinatra, notabene nama Frank sudah besar dan populer bahkan tidak jarang namanya berada di peringkat pertama dalam papan atas lagu populer masa itu. Rilisan ulang ini menjadi daftar terlaris selama 18 minggu berturut-turut dan mencapai nomor peringkat dua pada tanggal 2 Juni 1943.
Pada tahun 1942, lagu “ As Time Goes By” menjadi sangat populer setelah ditampilkan dalam film rilisan Warner Bros dengan judulnya Casablanca. Rudy Vallee merekam lagu tersebut untuk RCA Victor pada tahun 1931 dan sempat merilis ulang rekaman yang berusia 12 tahun menjadi hit nomor satu.
Hingga pada saat ini aksi mogok para musisinya tampaknya tidak menemukan jalan keluar, masih tetap berlanjut dan bagaimanapun juga perusahaan rekaman harus tetap beraktivitas agar mendapatkan pemasukan dan tetap beroperasi. Perusahaan rekaman mulai mengabaikan para musisi yang konstan melakukan aksi mogok dengan cara memilih untuk merekam vokalis populer dengan grup vokal demi mengisi peran cadangan yang biasanya diisi oleh orkestra.
Columbia yang memilih untuk bekerjasama dengan Sinatra dan berhasil menandatangani sebuah kontrak pada tanggal 1 Juni 1943 dengan tujuan untuk merilis rekaman dengan metode baru yang akan menampilkan bintang baru. Oleh karena itu Columbia mempekerjakan Axel Stordahl sebagai Arranger dan Konduktor untuk beberapa sesi dengan grup vokal yang bernama Bobby Tucker Singers. .
Sesi pertama berhasil dikerjakan selang beberapa waktu antara lain : 7 Juni, 22 Juni, 5 Agustus, dan 10 November 1943. Dari sembilan lagu yang direkam selama sesi ini, tujuh lagu masuk dalam daftar terlaris. Nampaknya metode ini cukup berhasil bagi perusahaan rekaman di tanah Amerika dalam bertahan hidup. Maka dari itu tidaklah heran apabila pada tahun awal 40-an hingga ke akhir 50-an terutama lagu dan rilisan album yang beredar di Amerika pada saat itu dirilis dengan teknik perekaman yang lebih sederhana, tanpa instrumen musik yang besar dan megah, semua diproduksi dengan menggunakan suara vokal manusia.
Namun di lain sisi, perusahaan rekaman tampaknya cukup nyaman dengan metode perekaman terbaru ini, bagi radio ini adalah hal yang cukup membuat ketir, bagi mereka yang bekerja di sebuah radio harus segera memikirkan arah terbaru, karena lagu bagi dunia radio menjadi sebuah nilai jual yang sangat penting, dengan terbatasnya jumlah rekaman baru maka ini adalah sebuah kendala yang harus diselesaikan.
Bersambung di pekan depan, pantau terus yows..