EPISODE: KUE LOBAK DAN WARISAN RASA
ingin mengajak Anda jalan-jalan…
Rasa yang sudah hidup ratusan tahun,
melewati zaman kerajaan, penjajahan, hingga era digital sekarang.
Rasa itu hidup dalam satu makanan yang mungkin Anda kenal,
mungkin juga belum pernah coba.
Kue ini sering muncul saat Tahun Baru Imlek,
tapi sebenarnya, dia bukan sekadar camilan musiman.
Kalau Anda pernah mencium aromanya saat dikukus,
ada semacam kehangatan yang sulit dijelaskan.
Aroma lobak dan beras bercampur,
dan tiba-tiba, semua terasa lebih dekat: rumah, keluarga, masa kecil.
Di Taiwan, kue ini dikenal sebagai tshài-thâu-kué.
Warnanya putih, bentuknya kotak sederhana.
Tapi sejarahnya… tidak sesederhana bentuknya.
Mari kita mulai dari masa lalu,
tepatnya di zaman Dinasti Ming.
Dulu, beras yang digunakan orang Taiwan bukan seperti beras sekarang—yang pulen, lengket, dan gampang dikunyah.
Yang digunakan adalah beras Zailaimi.
Bulirnya lebih panjang, teksturnya lebih padat.
Beras ini sudah menjadi makanan pokok sejak akhir Dinasti Ming,
dan terus digunakan sampai hampir tiga abad kemudian.
Kalau Anda pernah makan kue lobak, kue talam, atau kue tradisional lainnya—
semua itu awalnya dibuat dari beras Zailaimi.
Menurut Wang Hao-yi, seorang arkeolog kuliner,
beras ini adalah fondasi dari hampir semua makanan kecil tradisional Taiwan.
Tapi, mengapa kue lobak jadi begitu penting?
Karena di balik rasanya, ada kisah tentang kesetiaan dan pengorbanan.
Waktu pemerintahan Ming Zheng runtuh,
Pangeran Zhu Shu-gui—anggota terakhir keluarga kerajaan Ming di Taiwan—
menolak menyerah kepada Dinasti Qing.
Ia memilih mengakhiri hidupnya.
Tapi sebelum itu, ia memberikan seluruh tanah pertaniannya
kepada petani-petani yang bekerja padanya.
Sebagai bentuk terima kasih, rakyat mulai membuat kue-kue khas zaman Ming—
seperti kue lobak dan kue gula merah—
untuk dipersembahkan di makam sang pangeran setiap tahun.
Tanpa upacara besar, tanpa publisitas.
Hanya kenangan, rasa hormat, dan sepotong kue yang jadi simbol kesetiaan.
Cerita berlanjut ke masa kini.
Di Douliu, Yunlin, ada toko kecil bernama Ah Niu’s Radish Cake.
Tapi dari sinilah sebuah tradisi dijaga setiap hari.
Lai Kuo Cheng, pemiliknya, bangun jam 3.30 pagi setiap hari.
Ia kupas lobak, parut sendiri, dan menyiapkan bubur beras.
Saat matahari baru naik, di bawah pohon besar,
wajan penggorengan mulai berbunyi “cesss…”
Suara itu menandakan hari dimulai.
Kue lobak digoreng hingga renyah di luar,
tapi tetap lembut dan harum di dalam.
Disajikan dengan minuman sari beras buatan sendiri,
atau sup darah babi, atau sup miso yang hangat.
Kalau Anda pernah coba, Anda akan tahu:
ini bukan sekadar sarapan—ini pengalaman.
Tapi yang membuat toko ini istimewa bukan cuma rasanya.
Lai dan keluarganya menanam sendiri beras dan lobaknya.
Ibunya, Nyonya Lai, yang kini hampir 80 tahun,
masih ikut memeriksa ladang setiap pagi.
Tangan beliau penuh bekas luka.
Katanya, dulu pernah terluka saat membelah kayu bakar pakai gergaji mesin.
Sekarang pakai gas, lebih praktis, tapi rasa tetap harus dijaga.
Dan memang, mereka bersikeras:
kue lobak mereka harus 100% dari beras asli, tanpa campuran apapun.
Aroma berasnya terasa murni.
Bergeser sedikit ke pegunungan Emei, Hsinchu.
Di sana, seorang ibu Hakka bernama Zeng Zhao-hua
tetap mempertahankan cara kuno:
mengukus kue lobak dengan kayu bakar.
Kalau Anda pernah lihat prosesnya, Anda pasti kagum.
Ada sepuluh tungku besar,
suara api dan kayu saling bersahutan,
panasnya bisa sampai 80 derajat.
Zeng bilang, “Ini pekerjaan berat,
Tapi beliau tetap bertahan.
kalau nggak pakai kayu bakar, rasanya beda.
Aroma asap itu bukan sekadar efek tambahan—itu adalah
jiwa rasa.
Zeng belajar dari ibu mertuanya.
Ia melakukan banyak eksperimen,
menguji suhu api, waktu kukus, dan proporsi adonan.
kalau mau hasilnya enak, bahan nggak boleh pelit.
Semua bahan dipilih sesuai musim—
lobak dari selatan saat musim dingin, dari Puli saat musim panas.
Dan tentu saja, beras Zailaimi.
Kalau Anda gigit kue lobaknya,
Anda bisa merasakan setiap helai lobak menyatu dengan bubur beras.
Dan Anda akan mengerti mengapa cara kuno ini layak dipertahankan.
Dulu, di Taipei, ada kawasan yang dikenal sebagai Jalan Kue,
karena begitu banyaknya penjual makanan dari beras.
Salah satunya adalah Toko Kue Lin Zhen, berdiri sejak 1964.
Dari gerobak kecil, kini mereka memasok ke pasar tradisional di Taipei.
Tapi gaya hidup masyarakat berubah.
Orang-orang mulai lupa cara menggoreng kue sendiri di rumah.
Kue lobak perlahan bergeser dari kebutuhan harian menjadi simbol nostalgia.
Namun Lin Zhen tidak menyerah.
Generasi ketiga, Lin Fan-kai, yang sempat bekerja di Amerika,
memutuskan pulang untuk membangun merek keluarganya.
kemasan modern, pemasaran digital,
Dari kue lobak rasa laut—dengan udang sakura dan saus XO,
hingga versi jamur minyak wijen yang menghangatkan badan.
Tapi satu hal yang tidak berubah:
semua tetap dibuat dari beras asli Taiwan,
Fan-kai menyebut misi mereka:
Inovasi Makanan Tradisional Taiwan Berbasis Beras.
Jadi… ketika Anda makan kue lobak,
Anda tidak cuma makan camilan.
Anda sedang menikmati satu lembar sejarah.
Satu keping kenangan.
Satu bentuk cinta yang diwariskan diam-diam, tapi tak pernah pudar.
Dari dapur-dapur kecil, ladang beras, hingga tungku kayu di pegunungan,
semua menyatu dalam satu rasa yang sudah hidup selama berabad-abad.
Dan saya harap, setelah mendengar cerita ini, kue lobak tidak akan terasa biasa lagi.
Terima kasih sudah mendengarkan Cerita Rasa.
Sampai jumpa di episode berikutnya.