Berkali-kali dikemukakan dan kita dengar, hidup ini tragis. Dan ke depan akan semakin tragis, artinya dunia semakin membuat manusia yang hidup di dalamnya merasa tidak nyaman. Ancaman perang dunia dengan persenjataan nuklir, bom kimia, dan lain-lain, itu menakutkan. Krisis ekonomi yang tidak pernah sembuh, keadaan kritis karena pandemi seperti COVID-19, krisis sosial ekonomi, belum lagi ekosistem bumi, munculnya tsunami, bencana alam, erupsi, ekosistem bumi yang rusak, global warming, dan sebagainya. Ini harus terus diingatkan kepada kita. Kita tidak tahu anak cucu kita akan menghadapi keadaan seperti apa di hari esok. Mengerikan. Hidup di bumi ini tidak ada optimisme. Dunia makin memburuk, tetapi apakah berarti lalu kita menjadi pesimis? Tidak. Kita optimis.
Kita optimis menyambut kedatangan Tuhan, optimis menyambut Kerajaan yang akan dibangun Tuhan di langit baru bumi baru. Yang harus kita lakukan sekarang adalah bagaimana kita hidup sesuai dengan kehendak Allah, hidup tidak bercacat, tidak bercela, tidak terikat dengan dunia, agar kita menjadi kekasih Tuhan. Dengan kehidupan seperti ini, sebenarnya kita menjagai anak cucu kita. Tuhan menjagai anak cucu orang yang takut akan Dia; orang yang benar. Kalau Alkitab berkata: “Allah tidak membiarkan anak cucu orang benar sebagai peminta-minta,” lalu dinyanyikan oleh kebanyakan orang Kristen atau hampir oleh semua orang Kristen, dan mereka merasa anak cucu mereka tidak akan menjadi peminta-minta, itu salah. Itu keliru.
Yang “tidak menjadi peminta-minta” itu bukan orang yang mengaku kebenaran ayat Alkitab, tetapi yang menjadi benar. Orang benar, anak cucunya tidak akan meminta-minta, lalu kita berkata: “Amin… Amin…” seakan-akan anak cucu kita tidak akan pernah mengalami keadaan sebagai peminta-minta. Kita lupa bahwa kita hanya mengaminkan ayat tersebut, tetapi tidak menjadi orang benar. Kita harus melihat diri kita, apakah kita orang sudah benar, sudah takut Allah atau belum, sudah menjadi kekasih Allah atau belum? Faktanya, banyak orang Kristen yang hidup di dalam dosa; orang yang tidak meninggalkan percintaan dunia, yang tidak sungguh-sungguh membela pekerjaan Tuhan, pelit untuk pekerjaan Tuhan. Kalau untuk membeli barang, membeli sesuatu bagi dirinya sendiri, berapa pun dianggarkan. Tapi untuk pekerjaan Tuhan, begitu perhitungan. Sebenarnya, jika seesorang masih perhitungan dengan Tuhan, maka uangnya pun tidak layak untuk Tuhan.
Dulu ada seorang pendeta yang berpikir, orang yang tidak memberikan kekayaannya bagi Tuhan, pasti dihukum karena dia tidak memberikan uangnya. Satu sisi itu benar, tapi di sisi lain, pendeta itu tidak tahu atau belum tahu kalau seandainya dia memberikan uangnya pun, uangnya tidak layak untuk Tuhan. Artinya sekalipun dia memberikan uang, dia tetap masuk neraka karena kehidupannya tidak sesuai dengan kehendak Allah. Jadi, jangan berpikir kalau orang memberikan uangnya dalam jumlah besar kepada Tuhan berarti ia masuk surga. Belum tentu. Keadaan batiniahnya yang menentukan apakah persembahan itu layak atau tidak, berkenan atau tidak. Jadi, kalau kita melihat orang kaya tidak memberikan persembahan, tidak usah sakit hati, tidak usah marah, karena uang dia tidak layak untuk Kerajaan Surga. Dunia kita ke depan makin sulit. Kita punya uang sebanyak apa pun tidak akan bisa melindungi anak cucu kita. Kita kenal pejabat tinggi, aparat keamanan sehebat apa pun, tidak akan bisa melindungi diri kita sendiri dan anak cucu kita selama 24 jam.
Maka, kita jangan sombong. Kalau hari ini kita kaya, memiliki relasi pejabat tinggi di sana-sini, kita merasa bahwa kita bisa menghadapi segala kesulitan dengan kekuatan uang dan relasi, itu tidak akan lama. Satu kali kita akan “dibotaki” oleh Tuhan; digunduli, dilucuti sampai kita tidak bisa buat apa-apa. Setiap kita pasti akan dilucuti Tuhan. Sebelum Tuhan “melucuti” diri kita, mari kita “lucuti” diri kita sendiri sekarang. Maksudnya adalah kita mau menjadi orang yang mau menghayati Allah seb...